Minggu, 30 Oktober 2011

KEP-201/MEN/2001


KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
NOMOR KEP-201/MEN/2001

TENTANG


 KETERWAKILAN DALAM KELEMBAGAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI R.I.

 Menimbang : a.
bahwa dalam rangka menciptakan sistem hubungan industrial yang
harmonis, dinamisdan berkeadilan, maka perlu mengefektifkan kelembagaan
yang terbentuk dari unsur
tripartit ;

b.
bahwa sejalan dengan perkembangan hubungan industrial dewasa ini dan
serikatpekerja /serikat buruh yang ada pada saat ini belum dapat
menetapkan perwakilanunsur pekerja/buruh dalam Kelembagaan Hubungan
Industrial, maka dipandangperlu pemerintah mengatur keterwakilan serikat
pekerja/serikat buruh dan organisasipengusaha dalam Kelembagaan
Hubungan Industrial ;
c.
bahwa untuk menetapkan keterwakilan serikat pekerja/serikat buruh,
organisasi pengusaha dan pemerintah yang akan duduk dalam
Kelembagaan Hubungan Industrialtersebut perlu ditetapkan dengan
Keputusan Menteri.
Mengingat : 1.
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi
OrganisasiPerburuhan Internasional Nomor 98 Tahun 1949 mengenai
Berlakunya Dasar-dasardari pada Hak-hak untuk Berorganisasi dan
Berunding Bersama (Lembaga NegaraR.I Tahun 1956 Nomor 42, Tambahan
Lembaran Negara RI Nomor 1050) ;

2.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri
(Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara
RINomor 3346) ;
3.
Undang-undang Nomr 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
(Lembaran Negara RI Tahun 2000 Nomor 131, Tambahan Lembaran
Negara RINomor 3989) ;
4.
Keputusan Presiden RI Nomor 26 Tahun 1990 tentang Pengesahan
Konvensi ILO Nomor 144 Tahun 1976 mengenai Konsultasi Tripartit untuk
meningkatkanPelaksanaan Standar Perburuhan Internasional ;
5.
Keputusan Presiden RI Nomor 83 Tahun 1998 tentang Pengesahan
Konvensi ILO Nomor 87 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan
Perlindungan Hak UntukBerorganisasi ;
6.
Keputusan Presiden RI Nomor 228 Tahun 2001.
Memperhatikan : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit

Nasional tanggal 9 Nomor 144 Tahun 1976 mengenai Konsultasi Tripartit

2.
Kesepakatan Bersama Sidang Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit
NasionalTanggal 30 Oktober 2001 ;
3.
Hasil Pertemuan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan Para
Pimpinan Serikat Pekerja/Serikat Buruh pada tanggal 7 Nopember 2001.
MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI R.I.TENTANG
KETERWAKILAN DALAM KELEMBAGAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1.
Kelembagaan Hubungan Industrial adalah lembaga ketenagakerjaan yan terbentuk dari unsur
serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan, organisasi pengusaha yang khusus membidangi ketenagakerjaan dan telah
terakreditasi oleh Kamar Dagang dan Industri (KADIN) dan instansi pemerintah.
2.
Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk serikat
pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka,mandiri,
demokrasi dan bertanggungjawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan
kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
3.
Organisasi pengusaha adalah wadah persatuan dan kesatuan bagi pengusaha Indonesia yang
didirikan secara sah atas dasr kesamaan tujuan, aspirasi, strata kepengurusan, atau ciri alamiah
tertentu.
4.
Instansi pemerintah adalah instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan dan instansi
yang terkait dengan bidang ketenagakerjaan.
5.
Menteri adalah Menteri yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 2

Kelembagaan Hubungan Industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dapat dibentuk di
tingkat Kabupataen/Kota, Propinsi dan Nasional sebagai berikut :

a.Kelembagaan Hubungan Industrial tingkat Kabupaten/Kota berkedudukan di Ibukota
Kabupaten/Kota ;
b.Kelembagaan Hubungan Industrial tingkat Propinsi berkedudukan di Ibukota Propinsi ;
c.Kelembagaan Hubungan Industrial tingkat Nasional berkedudukan di Ibukota Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
BAB III
KETERWAKILAN SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH
Pasal 3

Serikat pekerja/serikat buruh baik secara sendiri-sendiri maupun gabungannya yang telah tercatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat mencalonkan wakilnya untuk duduk di
Kelembagaan Hubungan Industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 di tingkat
Kabupaten/Kota dengan ketentuan sebagai berikut :

a.
Mempunyai sekurang-kurangnya 10 unit kerja/serikat pekerja/serikat buruh di Kabupaten/Kota yang
bersangkutan ; atau
b.
Mempunyai sekurang-kurangnya 2.500 anggota pekerja/buruh di Kabupaten/Kota yang
bersangkutan
Pasal 4

Serikat pekerja/serikat buruh baik secara sendiri-sendiri maupun gabungannya yang telah tercatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat mencalonkan wakilnya untuk duduk di
Kelembagaan Hubungan Industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 di tingkat Propinsi
dengan ketentuan sebagai berikut :

a.
Mempunyai jumlah kepengurusan Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 20% dari jumlah
Kabupaten/Kota yang berada di Propinsi dan salah satunya berkedudukan di Ibukota Propinsi yang
bersangkutan ; atau
b.
Mempunyai sekurang-kurangnya 30 unit kerja/serikat pekerja/serikat buruh di propinsi yang
bersangkutan ; atau
c.
Mempunyai sekurang-kurangnya 5000 anggota pekerja/buruh di propinsi yang bersangkutan.
Pasal 5

Serikat pekerja/serikat buruh baik secara sendiri-sendiri maupun gabungannya yang telah tercatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat mencalonkan wakilnya untuk duduk di
Kelembagaan Hubungan Industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 di tingkat Nasional
dengan ketentuan sebagai berikut :

a.
Mempunyai jumlah kepengurusan Propinsi sekurang-kurangnya 20% dari jumlah Propinsi yang
berada di Indonesia dan salah satunya berkedudukan di Ibukota Negara Kesatuan Republik
Indonesia ; atau
b.
Mempunyai jumlah kepengurusan Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 20% dari jumlah
Kabupaten/Kota yang berada di Indonesiai dan salah satunya berkedudukan di Ibukota Negara
Kesatuan Republik Indonesia; atau
c.
Mempunyai sekurang-kurangnya 150 unit kerja/serikat pekerja/serikat buruh di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia ; atau
d.
Mempunyai sekurang-kurangnya 50.000 anggota pekerja/buruh di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia .
Pasal 6

Serikat pekerja/serikat buruh sebagaiman dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 wajib memiliki
kantor dan alamat yang jelas di tempat kedudukan masing-masing.

Pasal 7

1.
Penetapan dan pembagian jumlah wakil serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 ditentukan secara proporsional sesuai jumlah anggota serikat
pekerja/serikat buruh berdasarkan hasil audit atau verifikasi keanggotaan serikat pekerja/serikat
buruh.
2.
Untuk memperoleh seorang wakil dalam Kelembagaan Hubungan Industrial, ditetapkan atas dasar
pembagian dari jumlah seluruh pekerja/buruh yang menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dibagi dengan jumlah wakil dalam
Kelembagaan Hubungan Industrial yang dibutuhkan pada tingkat masing-masing yang selanjutnya
"angka pembagi tetap".
Pasal 8

1. Wakil serikat pekerja/serikat buruh baik secara sendiri maupun gabungannya dalam Kelembagaan
Hubungan Industrial ditetapkan atas dasar hasil bagi kelipatan angka pembagi tetap terhadap jumlah
anggota dari masing-masing serikat pekerja/serikat buruh.

2.
Apabila terdapat sisa anggota serikat pekerja/serikat buruh baik secara sendiri maupun gabungannya
dari hasil bagi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka sisa anggota tersebut diserahkan kepada
serikat pekerja/serikat buruh baik secara sendiri maupun gabungannya yang mempunyai urutan sisa
terbanyak dan yang belum memperoleh wakil dalam Kelembagaan Hubungan Industrial.
Pasal 9

1.
Keanggotaan pekerja/buruh dalam serikat pekerja/serikat buruh dibuktikan dengan kartu anggota asli
atau surat pernyataan anggota secara autentik yang dibuat oleh pekerja/buruh sendiri.
2.
Keanggotaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus mencamtumkan nama dan alamat
perusahaan/tempat kerja dimana pekerja/buruh bekerja.
BAB III
KETERWAKILAN ORGANISASI PENGUSAHA


Pasal 10


Organisasi pengusaha yang khusus membidangi ketenagakerjaan dan telah terakreditasi oleh Kamar
Dagang dan Industri (KADIN) dapat mencalonkan wakilnya untuk duduk dalam Kelembagaan Hubungan
Industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 di tingkat Kabupaten/Kota dengan ketentuan
mempunyai jumlah anggota sekurang-kurangnya 10 perusahaan di Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

Pasal 11

Organisasi pengusaha yang khusus membidangi Ketenagakerjaan dan telah terakreditasi oleh Kamar
Dagang dan Industri (KADIN) dapat mencalonkan wakilnya untuk duduk dalam Kelembagaan Hubungan
Industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 di tingkat Propinsi dengan ketentuan sebagai
berikut :

a.
Mempunyai jumlah kepengurusan Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 20% dari jumlah
Kabupaten/Kota yang berada di Propinsi dan salah satunya berkedudukan di Ibukota Propinsi yang
bersangkutan ; atau
b.
Mempunyai sekurang-kurangnya 1000 perusahaan di Propinsi yang bersangkutan.
Pasal 12

Organisasi pengusaha yang khusus membidangi Ketenagakerjaan dan telah terakreditasi oleh Kamar
Dagang dan Industri (KADIN) dapat mencalonkan wakilnya untuk duduk dalam Kelembagaan Hubungan
Industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 di tingkat Nasional dengan ketentuan sebagai
berikut :

a.
Mempunyai jumlah kepengurusan Propinsi sekurang-kurangnya 20% dari jumlah Propinsi yang
berada di Indonesia dan salah satunya berkedudukan di Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia
; atau
b.
Mempunyai jumlah kepengurusan Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 20% dari jumlah
Kabupaten/Kota yang berada di Indonesia dan salah satunya berkedudukan di Ibukota Negara
Kesatuan Republik Indonesia ; atau
c.
Mempunyai sekurang-kurangnya 1000 perusahaan diseluruh Indonesia.
Pasal 13

1. Penetapan dan pembagian jumlah wakil organisasi pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10, Pasal 11, dan Pasal 12 ditentukan secara proporsional sesuai jumlah anggota organisasi
pengusaha.

2.
Untuk memperoleh seorang wakil dalam Kelembagaan Hubungan Industrial, ditetapkan atas dasar
pembagian dari jumlah seluruh perusahaan yang menjadi anggota organisasi pengusaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal10, Pasal 11, dan Pasal 12 dibagi dengan jumlah wakil dalam
Kelembagaan Hubungan Industrial yang dibutuhkan pada tingkat masing-masing yang selanjutnya
"angka pembagi tetap".
Pasal 14

1.
Wakil Pengusaha dalam Kelembagaan Hubungan Industrial ditetapkan atas dasarhasil kelipatan
angka pembagi tetap terhadap jumlah anggota dari masing-masing organisasi pengusaha.
2.
Apabila terdapat sisa anggota organisasi pengusaha dari hasil bagi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), maka sisa anggota tersebut diserahkan kepada organisasai pengusaha yang ditunjuk oleh
Kamar Dagang dan Industri (KADIN) yang belum memperoleh wakil dalam Kelembagaan Hubungan
Industrial.
Pasal 15

Dalam hal tidak ada organisasi pengusaha yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal10, Pasal 11, dan Pasal 12, maka :
1.
Beberapa organisasi pengusaha bergabung agar dapat memenuhi syarat ; atau
2.
Diwakili oleh Kamar Dagang dan Industri (KADIN) setempat.
Pasal 16
Organisasi pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal10, Pasal 11, dan Pasal 12 wajib memiliki
kantor dan alamat yang jelas di tempat kedudukan masing-masing.

BAB IV
KETERWAKILAN PEMERINTAH
Pasal 17
Instansi pemerintah yang duduk dalam Kelembagaan Hubungan Industrial sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 angka 1 di tingkat Kabupaten/Kota , Propinsi dan Nasional diwakili oleh instansi pemerintah yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan serta instansi lain yang bidang tugasnya terkait dengan
ketenagakerjaan.
BAB V
VERIFIKASI KEANGGOTAAN
Pasal 18
1.
Pembuktian keanggotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, dilakukan melalui verifikasi oleh
Lembaga Kerjasama Tripartit Kabupaten/Kota.
2.
Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setiap tahun.
3.
Laporan hasil verifikasi disampaikan kepada Bupati/Walikota untuk diteruskan kepada Gubernur dan
Menteri.
4.
Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus sudah sampai kepada Menteri selambatlambatnya
bulan September setiap tahunnya.
Pasal 19
dalam hal di suatu Kabupaten/Kota belum terdapat Lembaga Kerjasama Tripartit Kabupaten/Kota, maka
verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dilakukan oleh Lembaga Kerjasama Tripartit
Propinsi.

Pasal 20
1.
Untuk pertama kali, verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dilakukan oleh Tim
verifikasi beranggotakan unsur tripartit yang dibentuk dan diangkat oleh Bupati/Walikota.
2.
Tim verifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus sudah menyelesaikan tugasnya selambatlambatnya
3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal pembentukannya.
3.
Laporan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus sudah disampaikan kepada
Menteri selambat-lambatnya 1 (satu) bulan terhitung sejak tim verifikasi menyelesaikan tugasnya.
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 21
Bagi daerah Kabupaten/Kota yang belum terdapat serikat pekerja/serikat buruh dan atau organisasi
pengusaha yang memenuhi syarat keterwakilan dalam Kelembagaan Hubungan Industrial, maka
pembentukan Kelembagaan Hubungan Industrial di Kabupaten/Kota mempertimbangkan saran
Kelembagaan Hubungan Industrial di Propinsi.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 22
1.
Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini, maka ketentuan mengenai keanggotaan yang
menyangkut keterwakilan dalam berbagai Kelembagaan Hubungan Industrial harus disesuaikan
dengan ketentuan dalam keputusan ini.
2.
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 10 Desember 2001

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA


ttd

JACOB NUWA WEA




 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar