KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR KEP-201/MEN/2001
TENTANG
KETERWAKILAN DALAM KELEMBAGAAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI R.I.
Menimbang : a.
bahwa dalam rangka menciptakan sistem
hubungan industrial yang
harmonis, dinamisdan berkeadilan, maka
perlu mengefektifkan kelembagaan
yang terbentuk dari unsur
tripartit ;
b.
bahwa sejalan dengan perkembangan hubungan
industrial dewasa ini dan
serikatpekerja /serikat buruh yang ada pada
saat ini belum dapat
menetapkan perwakilanunsur pekerja/buruh
dalam Kelembagaan Hubungan
Industrial, maka dipandangperlu pemerintah
mengatur keterwakilan serikat
pekerja/serikat buruh dan
organisasipengusaha dalam Kelembagaan
Hubungan Industrial ;
c.
bahwa untuk menetapkan keterwakilan serikat
pekerja/serikat buruh,
organisasi pengusaha dan pemerintah yang
akan duduk dalam
Kelembagaan Hubungan Industrialtersebut
perlu ditetapkan dengan
Keputusan Menteri.
Mengingat : 1.
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1956 tentang
Persetujuan Konvensi
OrganisasiPerburuhan Internasional Nomor 98
Tahun 1949 mengenai
Berlakunya Dasar-dasardari pada Hak-hak
untuk Berorganisasi dan
Berunding Bersama (Lembaga NegaraR.I Tahun
1956 Nomor 42, Tambahan
Lembaran Negara RI Nomor 1050) ;
2.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang
Kamar Dagang dan Industri
(Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 8,
Tambahan Lembaran Negara
RINomor 3346) ;
3.
Undang-undang Nomr 21 Tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja/Serikat Buruh
(Lembaran Negara RI Tahun 2000 Nomor 131,
Tambahan Lembaran
Negara RINomor 3989) ;
4.
Keputusan Presiden RI Nomor 26 Tahun 1990
tentang Pengesahan
Konvensi ILO Nomor 144 Tahun 1976 mengenai
Konsultasi Tripartit untuk
meningkatkanPelaksanaan Standar Perburuhan
Internasional ;
5.
Keputusan Presiden RI Nomor 83 Tahun 1998
tentang Pengesahan
Konvensi ILO Nomor 87 1948 tentang
Kebebasan Berserikat dan
Perlindungan Hak UntukBerorganisasi ;
6.
Keputusan Presiden RI Nomor 228 Tahun 2001.
Memperhatikan : 1. Pokok-pokok Pikiran
Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit
Nasional tanggal 9 Nomor 144 Tahun 1976
mengenai Konsultasi Tripartit
2.
Kesepakatan Bersama Sidang Pleno Lembaga
Kerjasama Tripartit
NasionalTanggal 30 Oktober 2001 ;
3.
Hasil Pertemuan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi dengan Para
Pimpinan Serikat Pekerja/Serikat Buruh pada
tanggal 7 Nopember 2001.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI R.I.TENTANG
KETERWAKILAN DALAM KELEMBAGAAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud
dengan :
1.
Kelembagaan Hubungan Industrial adalah
lembaga ketenagakerjaan yan terbentuk dari unsur
serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat
pada instansi yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan, organisasi pengusaha yang
khusus membidangi ketenagakerjaan dan telah
terakreditasi oleh Kamar Dagang dan
Industri (KADIN) dan instansi pemerintah.
2.
Serikat pekerja/serikat buruh adalah
organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk serikat
pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di
luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka,mandiri,
demokrasi dan bertanggungjawab guna
memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan
kepentingan pekerja/buruh serta
meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
3.
Organisasi pengusaha adalah wadah persatuan
dan kesatuan bagi pengusaha Indonesia yang
didirikan secara sah atas dasr kesamaan
tujuan, aspirasi, strata kepengurusan, atau ciri alamiah
tertentu.
4.
Instansi pemerintah adalah instansi yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan dan instansi
yang terkait dengan bidang ketenagakerjaan.
5.
Menteri adalah Menteri yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 2
Kelembagaan Hubungan Industrial sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dapat dibentuk di
tingkat Kabupataen/Kota, Propinsi dan
Nasional sebagai berikut :
a.Kelembagaan Hubungan Industrial tingkat
Kabupaten/Kota berkedudukan di Ibukota
Kabupaten/Kota ;
b.Kelembagaan Hubungan Industrial tingkat
Propinsi berkedudukan di Ibukota Propinsi ;
c.Kelembagaan Hubungan Industrial tingkat
Nasional berkedudukan di Ibukota Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
BAB III
KETERWAKILAN SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH
Pasal 3
Serikat pekerja/serikat buruh baik secara
sendiri-sendiri maupun gabungannya yang telah tercatat
menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku dapat mencalonkan wakilnya untuk duduk di
Kelembagaan Hubungan Industrial sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 di tingkat
Kabupaten/Kota dengan ketentuan sebagai
berikut :
a.
Mempunyai sekurang-kurangnya 10 unit
kerja/serikat pekerja/serikat buruh di Kabupaten/Kota yang
bersangkutan ; atau
b.
Mempunyai sekurang-kurangnya 2.500 anggota
pekerja/buruh di Kabupaten/Kota yang
bersangkutan
Pasal 4
Serikat pekerja/serikat buruh baik secara
sendiri-sendiri maupun gabungannya yang telah tercatat
menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku dapat mencalonkan wakilnya untuk duduk di
Kelembagaan Hubungan Industrial sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 di tingkat Propinsi
dengan ketentuan sebagai berikut :
a.
Mempunyai jumlah kepengurusan
Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 20% dari jumlah
Kabupaten/Kota yang berada di Propinsi dan
salah satunya berkedudukan di Ibukota Propinsi yang
bersangkutan ; atau
b.
Mempunyai sekurang-kurangnya 30 unit
kerja/serikat pekerja/serikat buruh di propinsi yang
bersangkutan ; atau
c.
Mempunyai sekurang-kurangnya 5000 anggota
pekerja/buruh di propinsi yang bersangkutan.
Pasal 5
Serikat pekerja/serikat buruh baik secara
sendiri-sendiri maupun gabungannya yang telah tercatat
menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku dapat mencalonkan wakilnya untuk duduk di
Kelembagaan Hubungan Industrial sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 di tingkat Nasional
dengan ketentuan sebagai berikut :
a.
Mempunyai jumlah kepengurusan Propinsi
sekurang-kurangnya 20% dari jumlah Propinsi yang
berada di Indonesia dan salah satunya
berkedudukan di Ibukota Negara Kesatuan Republik
Indonesia ; atau
b.
Mempunyai jumlah kepengurusan
Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 20% dari jumlah
Kabupaten/Kota yang berada di Indonesiai
dan salah satunya berkedudukan di Ibukota Negara
Kesatuan Republik Indonesia; atau
c.
Mempunyai sekurang-kurangnya 150 unit
kerja/serikat pekerja/serikat buruh di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia ; atau
d.
Mempunyai sekurang-kurangnya 50.000 anggota
pekerja/buruh di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia .
Pasal 6
Serikat pekerja/serikat buruh sebagaiman
dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 wajib memiliki
kantor dan alamat yang jelas di tempat
kedudukan masing-masing.
Pasal 7
1.
Penetapan dan pembagian jumlah wakil
serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 ditentukan
secara proporsional sesuai jumlah anggota serikat
pekerja/serikat buruh berdasarkan hasil
audit atau verifikasi keanggotaan serikat pekerja/serikat
buruh.
2.
Untuk memperoleh seorang wakil dalam
Kelembagaan Hubungan Industrial, ditetapkan atas dasar
pembagian dari jumlah seluruh pekerja/buruh
yang menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal
4, dan Pasal 5 dibagi dengan jumlah wakil dalam
Kelembagaan Hubungan Industrial yang dibutuhkan
pada tingkat masing-masing yang selanjutnya
"angka pembagi tetap".
Pasal 8
1. Wakil serikat pekerja/serikat buruh baik
secara sendiri maupun gabungannya dalam Kelembagaan
Hubungan Industrial ditetapkan atas dasar
hasil bagi kelipatan angka pembagi tetap terhadap jumlah
anggota dari masing-masing serikat
pekerja/serikat buruh.
2.
Apabila terdapat sisa anggota serikat
pekerja/serikat buruh baik secara sendiri maupun gabungannya
dari hasil bagi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), maka sisa anggota tersebut diserahkan kepada
serikat pekerja/serikat buruh baik secara
sendiri maupun gabungannya yang mempunyai urutan sisa
terbanyak dan yang belum memperoleh wakil
dalam Kelembagaan Hubungan Industrial.
Pasal 9
1.
Keanggotaan pekerja/buruh dalam serikat
pekerja/serikat buruh dibuktikan dengan kartu anggota asli
atau surat pernyataan anggota secara
autentik yang dibuat oleh pekerja/buruh sendiri.
2.
Keanggotaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), harus mencamtumkan nama dan alamat
perusahaan/tempat kerja dimana
pekerja/buruh bekerja.
BAB III
KETERWAKILAN ORGANISASI PENGUSAHA
Pasal 10
Organisasi pengusaha yang khusus membidangi
ketenagakerjaan dan telah terakreditasi oleh Kamar
Dagang dan Industri (KADIN) dapat
mencalonkan wakilnya untuk duduk dalam Kelembagaan Hubungan
Industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1 angka 1 di tingkat Kabupaten/Kota dengan ketentuan
mempunyai jumlah anggota sekurang-kurangnya
10 perusahaan di Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Pasal 11
Organisasi pengusaha yang khusus membidangi
Ketenagakerjaan dan telah terakreditasi oleh Kamar
Dagang dan Industri (KADIN) dapat
mencalonkan wakilnya untuk duduk dalam Kelembagaan Hubungan
Industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1 angka 1 di tingkat Propinsi dengan ketentuan sebagai
berikut :
a.
Mempunyai jumlah kepengurusan
Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 20% dari jumlah
Kabupaten/Kota yang berada di Propinsi dan
salah satunya berkedudukan di Ibukota Propinsi yang
bersangkutan ; atau
b.
Mempunyai sekurang-kurangnya 1000
perusahaan di Propinsi yang bersangkutan.
Pasal 12
Organisasi pengusaha yang khusus membidangi
Ketenagakerjaan dan telah terakreditasi oleh Kamar
Dagang dan Industri (KADIN) dapat
mencalonkan wakilnya untuk duduk dalam Kelembagaan Hubungan
Industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1 angka 1 di tingkat Nasional dengan ketentuan sebagai
berikut :
a.
Mempunyai jumlah kepengurusan Propinsi
sekurang-kurangnya 20% dari jumlah Propinsi yang
berada di Indonesia dan salah satunya berkedudukan
di Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia
; atau
b.
Mempunyai jumlah kepengurusan
Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 20% dari jumlah
Kabupaten/Kota yang berada di Indonesia dan
salah satunya berkedudukan di Ibukota Negara
Kesatuan Republik Indonesia ; atau
c.
Mempunyai sekurang-kurangnya 1000
perusahaan diseluruh Indonesia.
Pasal 13
1. Penetapan dan pembagian jumlah wakil
organisasi pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10, Pasal 11, dan Pasal 12 ditentukan
secara proporsional sesuai jumlah anggota organisasi
pengusaha.
2.
Untuk memperoleh seorang wakil dalam
Kelembagaan Hubungan Industrial, ditetapkan atas dasar
pembagian dari jumlah seluruh perusahaan
yang menjadi anggota organisasi pengusaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal10, Pasal
11, dan Pasal 12 dibagi dengan jumlah wakil dalam
Kelembagaan Hubungan Industrial yang
dibutuhkan pada tingkat masing-masing yang selanjutnya
"angka pembagi tetap".
Pasal 14
1.
Wakil Pengusaha dalam Kelembagaan Hubungan
Industrial ditetapkan atas dasarhasil kelipatan
angka pembagi tetap terhadap jumlah anggota
dari masing-masing organisasi pengusaha.
2.
Apabila terdapat sisa anggota organisasi
pengusaha dari hasil bagi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), maka sisa anggota tersebut diserahkan
kepada organisasai pengusaha yang ditunjuk oleh
Kamar Dagang dan Industri (KADIN) yang
belum memperoleh wakil dalam Kelembagaan Hubungan
Industrial.
Pasal 15
Dalam hal tidak ada organisasi pengusaha
yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal10, Pasal 11, dan Pasal 12, maka :
1.
Beberapa organisasi pengusaha bergabung
agar dapat memenuhi syarat ; atau
2.
Diwakili oleh Kamar Dagang dan Industri
(KADIN) setempat.
Pasal 16
Organisasi pengusaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal10, Pasal 11, dan Pasal 12 wajib memiliki
kantor dan alamat yang jelas di tempat
kedudukan masing-masing.
BAB IV
KETERWAKILAN PEMERINTAH
Pasal 17
Instansi pemerintah yang duduk dalam
Kelembagaan Hubungan Industrial sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 angka 1 di tingkat Kabupaten/Kota ,
Propinsi dan Nasional diwakili oleh instansi pemerintah yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan
serta instansi lain yang bidang tugasnya terkait dengan
ketenagakerjaan.
BAB V
VERIFIKASI KEANGGOTAAN
Pasal 18
1.
Pembuktian keanggotaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9, dilakukan melalui verifikasi oleh
Lembaga Kerjasama Tripartit Kabupaten/Kota.
2.
Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan setiap tahun.
3.
Laporan hasil verifikasi disampaikan kepada
Bupati/Walikota untuk diteruskan kepada Gubernur dan
Menteri.
4.
Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
harus sudah sampai kepada Menteri selambatlambatnya
bulan September setiap tahunnya.
Pasal 19
dalam hal di suatu Kabupaten/Kota belum
terdapat Lembaga Kerjasama Tripartit Kabupaten/Kota, maka
verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 ayat (1) dilakukan oleh Lembaga Kerjasama Tripartit
Propinsi.
Pasal 20
1.
Untuk pertama kali, verifikasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dilakukan oleh Tim
verifikasi beranggotakan unsur tripartit
yang dibentuk dan diangkat oleh Bupati/Walikota.
2.
Tim verifikasi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) harus sudah menyelesaikan tugasnya selambatlambatnya
3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal
pembentukannya.
3.
Laporan hasil verifikasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus sudah disampaikan kepada
Menteri selambat-lambatnya 1 (satu) bulan
terhitung sejak tim verifikasi menyelesaikan tugasnya.
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 21
Bagi daerah Kabupaten/Kota yang belum
terdapat serikat pekerja/serikat buruh dan atau organisasi
pengusaha yang memenuhi syarat keterwakilan
dalam Kelembagaan Hubungan Industrial, maka
pembentukan Kelembagaan Hubungan Industrial
di Kabupaten/Kota mempertimbangkan saran
Kelembagaan Hubungan Industrial di
Propinsi.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 22
1.
Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini,
maka ketentuan mengenai keanggotaan yang
menyangkut keterwakilan dalam berbagai
Kelembagaan Hubungan Industrial harus disesuaikan
dengan ketentuan dalam keputusan ini.
2.
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 10 Desember 2001
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
ttd
JACOB NUWA WEA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar