FUNGSI SERIKAT PEKERJA DALAM
PENINGKATAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Oleh :
SANTOSA
PUK SP KEP SPSI PT.ILD
Email : pukspsiild@gmail.com
Website : pukspsiild.blogspot.com
ABSTRAK
Serikat
Pekerja atau Serikat Buruh merupakan bentuk pelaksanaan dari hak seseorang
untuk berserikat dan berkumpul. Adanya serikat Pekerja / Buruh sangat penting
bagi kelangsungan hubungan industrial. Serikat Pekerja diharapkan dapat
melaksanakan fungsinya secara maksimal dalam rangka meningkatkan hubungan
industrial di tingkat perusahaan.
Kata Kunci : serikat pekerja, fungsi, hubungan industrial.
I PENDAHULUAN
Setiap manusia
selalu membutuhkan biaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk mendapatkan
biaya hidup seseorang perlu bekerja, secara mandiri atau bekerja kepada orang
lain.
Pekerja atau
buruh adalah seseorang yang bekerja kepada orang lain dengan mendapatkan upah.
Sedangkan tenaga kerja berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 2 UU no. 13 tahun
2003 adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilan barang
dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Jumlah
tenaga kerja yang tersedia di Indonesia tidak seimbang dengan jumlah lapangan
kerja yang tersedia. Terlebih lagi dari sebagian besar tenaga kerja yang
tersedia adalah yang berpendidikan rendah atau tidak berpendidikan sama sekali.
Mereka kebanyakan adalah unskillabour, sehingga posisi tawar mereka
adalah rendah.
Keadaan ini
menimbulkan adanya kecenderungan majikan untuk berbuat sewenang- wenang kepada
pekerja / buruhnya. Buruh dipandang sebagai obyek. Buruh dianggap sebagai
faktor ektern yang berkedudukan sama dengan pelanggan pemasok atau pelanggan
pembeli yang berfungsi menunjang kelangsungan perusahaan dan bukan faktor
intern sebagai bagian yang tidak terpisahkan atau sebagai unsur konstitutip
yang menjadikan perusahaan.
Majikan dapat
dengan leluasa untuk menekan pekerja / buruhnya untuk bekerja secara maksimal,
terkadang melebihi kemampuan kerjanya. Misalnya majikan dapat menetapkan upah
hanya maksimal sebanyak upah minimum propinsi yang ada, tanpa melihat masa
kerja dari pekerja itu. Seringkali pekerja dengan masa kerja yang lama upahnya
hanya selisih sedikit lebih besar dari upah pekerja yang masa kerjanya kurang
dari satu tahun. Majikan enggan untuk meningkatkan atau menaikkan upah pekerja
meskipun terjadi peningkatan hasil produksi dengan dalih bahwa takut diprotes
oleh perusahaan – perusahaan lain yang sejenis.
Posisi pekerja
yang lemah dapat diantisipasi dengan dibentuknya serikat pekerja / serikat
buruh yang ada di perusahaan . Diharapkan dengan adanya serikat pekerja di
perusahaan dapat mewakili dan menyalurkan aspirasi pekerja, sehingga dapat
dilakukan upaya peningkatan kesejahteraan pekerja. Dengan kata lain serikat
pekerja / buruh diharapkan dapat sebagai wadah pekerja dalam memperjuangkan
haknya.
Secara
sosiologis kedudukan buruh adalah tidak bebas. Sebagai orang yang tidak
mempunyai bekal hidup lain daripada itu, ia terpaksa bekerja pada orang lain.
Dan majikan inilah yang pada dasarnya menentukan syarat-syarat kerja .
Mengingat kedudukan pekerja yang lebih rendah daripada majikan maka perlu
adanya campur tangan pemerintah untuk memberikan perlindungan hukumnya.
Perlindungan hukum menurut Philipus
Selalu berkaitan dengan
kekuasaan. Ada dua kekuasaan yang selalu menjadi perhatian yakni kekuasaan
pemerintah dan kekuasaan ekonomi. Dalam hubungan dengan kekuasaan pemerintah,
permasalahan perlindungan hukum bagi rakyat (yang diperintah), terhadap
pemerintah (yang memerintah). Dalam hubungan dengan kekuasaan ekonomi,
permasalahan perlindungan hukum adalah perlindungan bagi silemah (ekonomi)
terhadap si kuat (ekonomi), misalnya perlindungan bagi pekerja terhadap
pengusaha.
Perlindungan
hukum bagi buruh sangat diperlukan mengingat kedudukannya yang lemah.
Disebutkan oleh Zainal Asikin, yaitu : Perlindungan hukum dari kekuasaan
majikan terlaksana apabila peraturan perundang-undangan dalam bidang perburuhan
yang mengharuskan atau memaksa majikan bertindak seperti dalam
perundang-undangan tersebut benar-benar dilaksanakan semua pihak karena
keberlakuan hukum tidak dapat diukur secara yuridis saja, tetapi diukur secara
sosiologis dan filosofis .
Bruggink membagi keberlakuan hukum menjadi tiga, yaitu keberlakuan faktual,
keberlakuan normatif dan keberlakuan evaluatif / material.
Keberlakuan faktual
yaitu kaidah dipatuhi oleh para warga masyarakat/ efektif kaidah diterapkan dan
ditegakkan oleh pejabat hukum; keberlakuan normative yaitu kaidah cocok dalam
system hukum herarkis,; keberlakuan evaluatif yaitu secara empiris kaidah
tampak diterima, secara filosofis kaidah memenuhi sifat mewajibkan karena
isinya.
Kedudukan
buruh yang lemah ini membutuhkan suatu wadah supaya menjadi kuat. Wadah itu
adalah adanya pelaksanaan hak berserikat di dalam suatu serikat pekerja
atau serikat buruh. Tujuan dibentuknya serikat pekerja/ buruh adalah
menyeimbangkan posisi buruh dengan majikan. Melalui keterwakilan buruh di dalam
serikat buruh maka diharapkan aspirasi buruh dapat sampai kepada majikan.
Selain itu melalui wadah serikat pekerja / buruh ini diharapkan akan terwujud
peran serta buruh dalam proses produksi. Hal ini merupakan salah satu upaya
yang dapat dilakukan untuk meningkatkan hubungan industrial di tingkat
perusahaan.
Keberadaan
serikat pekerja saat ini lebih terjamin dengan diundangkannya Undang-Undang No.
21 Tahun 2000 tentang serikat pekerja / serikat buruh (Lembaran Negara Tahun
2000 No. 131, Tambahan Lembaran Negara No. 3898). Sebelum adanya UU No. 21
Tahun 2000, kedudukan serikat pekerja secara umum dianggap hanyalah sebagai
kepanjangan tangan atau boneka dari majikan, yang kurang menereskan aspirasi
anggotanya. Hal ini karena pada masa Orde Baru serikat pekerja atau serikat
buruh hanya diperbolehkan satu yaitu serikat pekerja seluruh Indonesia (SPSI).
Pada masa Orde Baru itu pulalah muncul suatu serikat buruh tandingan SPSI yaitu
serikat buruh seluruh Indonesia (SBSI) di bawah Mochtar Pakpahan. Karena tidak
dikehendaki oleh pemerintah Soeharto, akhirnya ia ditahan dan bebas setelah era
reformasi.
Pada masa
reformasi setelah adanya UU NO. 21 Thaun 2000 dimungkinkan dibentuk serikat
buruh/ pekerja lebih dari satu. Hal ini menyebabkan keberadaan serikat
pekerja/serikat buruh banyak didirikan di satu perusahaan. Sayangnya karena
ketidak siapan buruh melaksanakan hak berserikat dimanfaatkan oleh oknum
tertentu untuk mengeruk keuntungan bagi kepentingannya sendiri dengan menjual
bangsa. Dikatakan demikian karena berdasarkan UU No. 21 Tahun 2000
diperbolehkan serikat pekerja / buruh itu menerima sumbangan dana dari negara
lain. Sering pula keberadaan serikat pekerja/ buruh yang lebih dari satu
jumlahnya di satu perusahaan justru memicu terjadinya perselisihan perburuhan
yang dapat berakibat mogok kerja yang seharusnya justru bertentangan dengan
tujuan disahkannya UU No. 21 tahun 2000 tersebut.
Dari uraian di
atas maka muncul permasalahan bagaimana fungsi serikat pekerja atau buruh dalam
rangka meningkatkan hubungan industrial di tingkat perusahaan. Hal ini
memerlukan suatu kebijaksanaan pemerintah, untukl menjabarkan ketentuan yang
ada di dalam UU no. 21 Tahun 2000 dalam peraturan pelaksanaannya. Sampai saat
ini belum ada peraturan pelaksana dari UU No. 21 Tahun 2000 sehingga untuk mengatasi
kekosongan hukum diperlukan banyak penafsiran hukum diantaranya penafsiran
mengenai fungsi serikat pekerja.
II
KEBEBASAN BERSERIKAT DAN BERKUMPUL BAGI BURUH
Alinea ketiga
dari Pembukaan UUD 1945 yaitu negara melindungi segenap bangsa dan negara
Indonesia. Ketentuan ini dijabarkan lebih lanjut dalam pasal 27 UUD 1945 yaitu
setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan. Setiap
warga negara berhak atas penghasilan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. Buruh adalah bagian dari bangsa Indonesia, sehingga berhak pula
untuk dilindungi dan mendapatkan penghidupan yang layak.
Salah satu
bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah bagi buruh adalah
adanya jaminan atas kebebasan berserikat dan berkumpul dalam suatu wadah
serikat buruh / pekerja. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta
menyampaikan pendapat merupakan hak dasar yang dimiliki oleh warga negara dari
suatu negara hukum demokratis yang berkedaulatan rakyat. Hak-hak yang dimiliki
manusia berdasrkan martabatnya sebagai manusia dan bukan karena
pemberianmasyarakat atau negara disebut hak asasi manusia. Hak asasi manusia
dalam negara hukum tidak dapat dipisahkan dari ketertiban dan keadilan.
Pengakuan atas negara hukum salah satu tujuannya melindungi hak asasi manusia,
berarti hak dan sekaligus kemerdekaan atau kebebasan perorangan diakui,
dihormati dan dijunjung tinggi. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi
manusia mendapat tempat utama dan dapat dikatakan sebagai tujuan dari negara hukum.
Kebebasan
berserikat dan berkumpul termuat dalam konvensi ILO tentang kebebasan
berserikat dan perlindungan hak berorganisasi ,1948 (No. 87) telah diratifikasi
dan dituangkan dalam Keputusan Presiden RI No. 83 Tahun 1998, dan Konvensi ILO
tentang hak berorganisasi dan berunding bersama, 1949 (No. 98) telah
diratifikasi dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 1956. Konvensi No. 87 dimaksudkan
secara keseluruhan untuk melindungi kebebasan berserikat terhadap kemungkinan
campur tangan pemerintah. Konvensi No. 98 ditujukan untuk mendorong
pengembangan penuh mekanisme perundingan kolektif sukarela.
Perjuangan
untuk mendirikan serikat buruh / pekerja yang mandiri untuk memperjuangkan hak
buruh sebenarnya telah ada sejak pemerintahan Hindia Belanda yaitu sejak abad
19 dan berlansung hingga sekarang. Pada tahun 1979 lahir Nederland Indische
Onderwys Genootschap (NIOG) atau serikat pekerja guru Hindia Belanda.
Selanjutnya disusul lahirnya beberapa serikat pekerja seperti Pos bond,
Cultuur Bond, Zuiker Bond, Spoor Bond.
Keberadaan
serikat buruh atau pekerja pada masa Orde Baru belum memenuhi prinsip dasar
serikat buruh. Prinsip dasar serikat buruh ada tiga yaitu kesatuan, mandiri dan
demokratis.
Prinsip kesatuan yaitu
adanya solidaritas dikalangan buruh bahwa mereka merupakan satu bagian tak
terpisahkan dalam organisasi Prinsip kemandirian maksudnya organisasi
buruh harus bebas dari dominasi kekuatan dari luar buruh, baik itu pemerintah,
majikan, partai politik, organisasi agama atau tokoh-tokoh individual. Prinsip
demokratis artinya mendapat dukungan dan partisipasi penuh para
anggotanya.
Tiga prinsip
dasar serikat buruh itu belum dapat dilaksanakan dengan penuh pada masa Orde
Baru karena serikat buruh yang diakui saat itu hanya ada satu yaitu serikat
buruh seluruh Indonesia (SPSI).
Upaya
pemerintah selanjutnya untuk memberikan jaminan kebebasan berserikat dan
berkumpul bagi buruh dituangkan dalam Undang- Undang No. 21 tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja / Buruh (Lembaran Negara tahun 2000 No.131.
Tambahan Lembaran Negara No. 3989).
III FUNGSI
SERIKAT PEKERJA DALAM PENINGKATAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Hubungan
industrial antara majikan dn buruh atau dengan pemerintah terjadi di tingkat
perusahaan atau di tingkat industri. Di negara demokratis, kebebasan berserikat
dijamin, kepentingan buruh diwakili oleh serikat buruh. Hubungan industrial ini
bersifat universal artinya di semua negara, meskipun dengan derajat kemajuan
yang berbeda.
Hubungan
industrial yang aman, harmonis dan dinamis diperlukan untuk menjamin ketenangan
kerja dan kelangsungan usaha yang produktif. Inti hubungan industrial itu
adalah perundingan bersama antara majikan dan serikat buruh untuk mencapai
kesepakatan kerja bersama yang kemudian harus dilkasanakan dan dipatuhi oleh
semua pihak. Hubungan industrial demikian ini memerlukan persyaratan yang harus
dipenuhi oleh unsur-unsur atau sarana- sarananya, termasuk persyaratan akan
kerjasama bipartid, tripartid, perlindungan dan kesejahteraan buruh serta
penyelesaian perselisihan industrial.
Hubungan
industrial diartikan sebagai suatu system hubungan yang terbentuk antara para
pelaku dalam proses produksi barang atau jasa yang meliputi pengusaha, pekerja
dan pemerintah. Pengertian itu memuat semua aspek hubungan kerja yang
terdiri dari :
- para pelaku : pekerja, pengusaha, pemerintah;
- kerjasama : manajemen-karyawan;
- perundingan bersama : perjanjiankerja, kesepakatan kerja bersama. Peraturan perusahaan;
- kesejahteraan: upah, jaminan sosial, pensiun, keselamatan dan kesehatan kerja, koperasi, pelatihan kerja;
- perselisihan industrial : arbitrase, mediasi, mogok kerja, penutupan perusahaan, pemutusan hubungan kerja
Hubungan industrial di Indonesia
dikenal dengan nama hubungan industrial Pancasila yaitu suatu hubungan industrial
yang mendasarkan pada nilai-nilai kelima sila dari Pancasila. Sejak masa
reformasi istilah itu tampaknya kurang dipakai di masyarakat, mengingat Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang menjadi salah satu pilar dari
HIP telah dicabut. Dengan dicabutnya salah satu pilar HIP, maka HIP kemudian
disebut sebagai hubungan industrial saja tanpa disertai Pancasila.
Fungsi serikat
buruh dituangkan dalam UU No. 21 Tahun 2000. Fungsi berasal dari kata function, artinya
something that performs a function : or operation.. Fungsi dapat pula
diartikan sebagai jabatan (pekerjaan) yang dilakukan : jika ketua tidak ada
maka wakil ketua melakukan fungsi ketua ; fungsi adalah kegunaan suatu hal;
berfungsi artinya berkedudukan, bertugas sebagai ; menjalankan tugasnya.
Fungsi serikat buruh / pekerja dengan demikian dapat diartikan sebagai
jabatan, kegunaan, kedudukan dari serikat buruh/ pekerja.
Berdasarkan ketentuan pasal 4
Undang-Undang No. 21 Tahun 2000, yaitu :
- Serikat pekerja/ serikat buruh, federasi and konfederasi serikat pekerja/ serikat buruh bertujuan memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/ buruh dan keluarganya.
- Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) serikat pekerja/ serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/ serikat buruh mempunyai fungsi :
- sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaian perselisihan industrial;
- sebagai wakil pekerja/buruh dalam lembaga kerja sama di bidang ketenagakerjaan seseuai dengan tingkatannya;
- sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan sesuai dengabn peraturan perundang-undangan;
- sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya;
- sebagai perencana, pelaksana dan penanggung jawab pemogokan pekerja/ buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- sebagai wakil pekerja/ buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham di perusahaan.
Subyek hukum dalam hubungan industrial pada dasarnya yang terpenting adalah
buruh dan majikan. Disamping itu mengingat hubungan industrial itu terjadi di
dalam masyarakat maka subyek hukum hubungan industrial mendapat perluasan
meliputi juga masyarakat dan pemerintah. Serikat pekerja/ buruh adalah wakil
buruh dalam perusahaan. Sebagai wakil buruh yang sah maka ia mempunyai
kedudukan sebagi subyek hukum dalam hubungan industrial yang mandiri.
Pemerintah mempunyai andil pula sebagai subyek hukum dalam hubungan industrial dalam
arti perwujudannya dalam tiga fungsi pokok pemerintah yaitu mengatur, membina
dan mengawasi. Masyarakat menjadi subyek hukum hubungan industrial sebagai
akibat perluasan karena bagaimanapun juga hubungan industrial itu akan
berdampak bagi masyarakat sekitar lokasi hubungan industrial itu berlangsung
atau masyarakat dalam arti skala nasional. Dampak itu dapat positif atau
negatif. Mempunyai dampak positif apabila hubungan industrial itu berjalan
dengan baik dan tercapai tujuannya. Sebaliknya akan berdampak negatih apabila
hubungan industrial itu gagal mencapai tujuannya.
Tujuan dari
hubungan industrial pada dasarnya terkait dengan subyek hukum dalam hubungan
industrial yaitu meningkatkan produktifitas, meningkatkan kesejahteraan,
meningkatkan stabilitas nasional yang mantap. Meningkatkan produktifitas adalah
tujuan utama dari majikan dalam hal ia mendirikan suatu usaha. Produktifitas
yang meningkatkan akan menghasilkan keuntungan. Adanya keuntungan dari hasil
proses produksi diharapkan dapat dikembalikan kepada buruh guna meningkatkan
kesejahteraannya. Peningkatan kesejahtaraan merupakan tujuan utama semua buruh.
Buruh bekerja tujuannya mendapatkan penghasilan guina pemenuhan kebutuhan
hidupnya. Apabila terjadi peningkatan kesejahteraan maka secara otomatis
pengsilan buruhpun mengalami peningkatan, sehingga akan tercipta ketenangan
bekerja. Suasana yang tenang dalam proses produksi karena telah terjadi
peningkatan produktifitas dan peningkatan kesejahteraan maka akan mengakibatkan
dampak yang positif bagi masyarakat sekitarnya dan masyarakat Indonesia pada
umumnya. Adanya ketenangan usaha memperkecil terjadinya perselisihan
perburuhan. Sisi lainnya akan menimbulkan stabilitas nasional yang baik, yang
selalu diharapkan oleh pemerintah bagi suksesnya pembangunan ekonomi.
IV
KEBEBASAN BERSERIKAT DAN BERKUMPUL DALAM PRAKTIK HUBUNGAN INDUSTRIAL
Kenyataan yang ada dalam
proses berlangsungnya suatu hubungan industrial tidak seperti yang diharapkan.
Majikan sering menempatkan buruh pada posisi yang rendah, sebagai faktor
ekstern yang kurang diperhatikan. Untuk itulah diperlukan adanya suatu
wadah bagi buruh sebagi upaya mensejajarkan posisi buruh majikan dalam proses
hubungan industrial dalam suatu serikat buruh / serikat pekerja.
Dalam praktik, masih
adanya keengganan menerima keberadaan serikat pekerja di lingkungan perusahaan
sebagai mitra sejajar dan masih banyaknya pengusaha yang berpendirian
“Saya yang berkuasa di rumah saya” (Herr im Haus) seperti sikap
raja-raja perusahaan baja pada awal lahirnya perjanjian perburuhan (KKB) di
Jerman walaupun didesak dengan ketentuan-ketentuan yang disertai sanksi pidana.
Keberadaan serikat buruh /
pekerja dengan adanya Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 ternyata masih banyak
menimbulkan masalah. Pada masa Orde Baru masalah yang timbul pada serikat buruh
atau serikat pekerja pada umumnya pada ketidak mandirian serikat buruh/
pekerja. Serikat buruh pada masa itu hanya ada satu yaitu SPSI dianggap oleh
banyak kalangan sebagai corong atau boneka majikan. Seringkali SPSI tidak
menyuarakan aspirasi atau kehendak buruh dan ironisnya hanya menyuarakan
aspirasi majikan. Pengurus SPSI kebanyakan telah ditentukan oleh majikan yang
merupakan orang-orang yang lebih mendekatkan dirinya pada majikan (mereka yang
pro-majikan). Pemilihan pengurus SPSI seringkali direkayasa untuk menempatkan
orang-orang yang lebih berpihak kepada majikan.
Keberadaan serikat buruh/
pekerja setelah masa reformasi dengan telah disahkannnya Undang-Undang No. 21
Tahun 2000 ternyata juga masih menimbulkan banyak permasalahan. Permasalahan
bukan terletak pada wadah tunggal serikat buruh / pekerja dalam SPSI tetapi
pada kemajemukan serikat buruh/ serikat pekerja yang telah ada. Undang-Undang
No. 21 Tahun 2000 membuka peluang untuk didirikannya serikat buruh/ pekerja
lebih dari satu dalam satu perusahaan. Adanya serikat buruh / pekerja yang
lebih dari satu dalam satu perusahaan dikatakan merupakan perwujudan dari sikap
demokratis buruh. Sayangnya pada umumnya buruh masih belum mempunyai kematangan
demokrasi. Demokrasi sering disalah-artikan dengan pemogokan , penganiayaan dan
pengrusakan. Adanya ketentuan bahwa serikat buruh / pekerja dapat menerima dana
dari luar negeri ternyata disalah gunakan oleh orang-orang tertentu untuk
mengambil keuntungan sepihak. Dengan dalih upaya memperjuangkan kesejahteraan
buruh, buruh dihasut untuk melakukan pemogokan. Selama berjalannya masa
pemogokan ternyata situasi itu diabadikan oleh orang tertentu yang menjadi
pengurus serikat buruh atau serikat pekerja untuk mencari dana dari luar
negeri. Hal ini sangat disayangkan karena tindakan itu dapat dikatakan telah
menjual negara untuk kepentingan pribadi.
Banyaknya serikat buruh /
pekerja dalam satu perusahaan juga menimbulkan masalah dalam rangka pembuatan
perjanjian kerja bersama karena belum ada peraturan pelaksanaannya. Hal ini
memicu serikat buruh yang mempunyai anggota minoritas untuk menghasut atau
bahkan mengancam buruh yang bukan anggotanya untuk melakukan
tindakan-tindakan yang dapat mengarah pada perselisihan perburuhan. Hal ini
memerlukan suatu interpretasi bagi upaya kekosongan hukum sebelum adanya
peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 21 Tahun 2000.
V SOLUSI PEMECAHAN
Belum adanya
ketentuan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang fungsi
serikat buruh / serikat pekerja mengakibatkan diperlukan adanya interpretasi
dari ketentuan pasal 4 Undang-Undang No. 21 Tahun 2000.
PUK SPSI Sebagai pihak dalam pembuatan
PKB dan penyelesaian perselisihan perburuhan
Fungsi pertama
dari serikat pekerja adalah sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja
bersama atau PKB. Istilah perjanjian kerja bersama (PKB) ada setelah
diundangkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2000, dimaksudkan untuk menggantikan
kedudukan kesepakatan kerja bersama (KKB). Pembuat undang-undang menganggap
penertian dari PKB sama dengan KKB. PKB merupakan terjemahan dari Collective
Labour Agreement (CLA). Sentanoe Kertonegoro, menganggap KKB tidak sama
dengan PKB, yaitu :
Perjanjian Kerja Bersama adalah :
- Dasar dari individualisme dan liberalisme ( free fight liberalisme ) berpandangan bahwa antara pekerja dan pengusaha adalah dua pihak yang mempunyai kepentingan yang berbeda dalam perusahaan
- Mereka bebas melakukan perundingan dan membuat perjanjian tanpa campur tangan pihak lain;
- Dibuat melalui perundingan yang bersifat tawar-menawar (bargaining) masing-masing pihak akan berusaha memperkuat kekuatan tawar-menawar, bahkan dengan menggunakan senjata mogok dan penutupan perusahaan;
- Hasilnya adalah perjanjian yang merupakan keseimbangan dari kekuatan tawar menawar
Kesepakatan Kerja Bersama
- Dasar adalah hubungan industrial Pancasila berpandangan bahwa antara pekerja dan pengusaha terdapat hubungan yang bersifat kekeluargaan dan gotong royong;
- Mereka bebas melakukan perundingan dan memeuat perjanjian asal saja, tetapi memeperhatikan kepentingan yang lebih luas yaitu masyarakat, bangsa dan negara;
- Dibuat melalui musyawarah untuk mufakat, tidak melalui kekuatan tawar menawar tetapi yang diperlukan sifat yang keterbukaan, kejujuran dan pemahaman terhadap kepentingan semua pihak. Kehadiran serikat pekerja dalam rangka meningkatkan kerjasama dan tanggung jawab bersama;
- Hasilnya adalah suatu kesepakatan yang merupakan titik optimal yang bisa dicapai menurut kondisi yang ada, dengan memperhatikan kepentingan semua pihak.
Apabila dicermati pendapat
Sentanoe mengenai perbedaan antara PKB dengan KKB, tampak ada peluang yang
dapat dipergunakan oleh majikan dalam hal memanfaatkan suatu keadaan dari
pengertian KKB untuk menekan buruh dalam hal memperjuangkan haknya. Pada
pengertian KKB, lebih ditekankan semua pihak tidak hanya mementingkan
kepentingannya tetapi harus memperhatikan juga kepentingan bangsa dan negara.
Sebagai contoh pemerintah telah menetapkan upah minimum propinsi/ kota .
Ketentuan UMP itu seolah-olah dijadikan dasar bagi majikan sebagai untuk
memberikan upah kepada buruhnya selama-lamanya tanpa melihat lama kerja buruh,
prestasi atau keuntungan yang diperoleh perusahaan. Memang ada peningkatan upah
berdasarkan lamanya masa kerja atau prestasi tetapi apabila dibandingkan dengan
perolehan keuntungan majikan sangat jauh. Ada dalih dari majikan untuk tidak
memberikan kenaikan upah bagi buruhnya diatas ketentuan UMP, yaitu perusahaan
bisa saja memberikan kenaikan upah berdasarkan presentasi keuntungan yang
diperoleh perusahaan, tetapi hal ini tidak dilakukan karemna nati akan diprotes
oleh perusahaan yang sejenis yang dapat mengakibatkan mogok kerja pada
perusahaan lainnya sehingga mengganggu stabilitas nasional. Ironis memang
antara besarnya upah buruh pabrik rokok dengan kekayaan yang dimiliki oleh
majikan pemilik pabrik rokok itu. Sementara pemilik dapat keliling dunia,
memiliki koleksi mobil mewah sementara buruh pabrik rokok hanya dapat bersyukur
apabila dapat mengangsur rumah sangat sederhana melalui KPR-BTN.
Dari uraian
itu maka sepatutnyalah kita beralih paradigma dari KKB ke PKB yang lebih
memberikan posisi madiri bagi serikat buruh untuk berperan aktif dalam
pembuatan PKB.
Sebagi pihak
dalam pembuatan PKB saat ini ternyata menimbulkan problema. Setelah
adanya Undang-Undang No. 21 Tahun 2000, dimungkinkan terbentuk lebih dari satu
serikat pekerja/ buruh di satu perusahaan. Hal ini belum pernah terjadi
sebelumnya. Pada masa itu karena serikat pekerja / buruh hanya diakui satu di
seluruh Indonesia yaitu serikat pekerja seluruh Indonesia (SPSI) maka hanya
SPSI unit kerja PT X saja yang berhak sebagai pihak dalam pembuatan KKB apabila
memenuhi ketentuan jumlah anggotanya adalah minimal 50 % dari jumlah pekerja yang
ada di perusahaan itu. Hal ini diatur dalam pasal 130 ayat (2) UU No. 13
Tahun 2003.
Berdasarkan
ketentuan pasal 2 Konvensi ILO No. 87 tentang kebebasan berserikat dan
perlindungan hak berorganisasi yaitu pengusaha dan pekerja mempunyai hak untuk
membentuk,dan tunduk hanya pada peraturan organisasi yang bersangkutan,
bergabung dengan organisasi pilihannya sendiri. Adanya monopoli serikat pekerja
pada saat itu dalam wadah SPSI menurut Sentanoe
Hanya dapat dibuat dalam
hubungannya dengan perwakilan (representative) untuk maksud perundingan
kolektif, konsultasi oleh pemerintar, atau penunjukan wakil-wakil pada
organisasi internasional. Tetapi tidak boleh digunakan untuk mencegah
berfungsinya organisasi minoritas. Organisasi-organisasi minoritas setidak-tidaknya
harus memiliki hak untuk melakukan perwakilan atas nama para anggotanya dan
mewakili anggota dalam hal keluhan-keluhan individual.18
Setelah
diundangkannya UU No. 21 Tahun 2000 maka ketentuan yang menyatakan bahwa hanya
serikat pekerja yang didukung oleh 50 % dari jumlah pekerja yang ada memerlukan
penafsiran hukum karena apabila ketentuan itu dipaksakan maka serikat
pekerja yang tidak didukung oleh 50 % jumlah buruh yang ada tidak akan dapat
berkedudukan sebagai pihak dalam pembuatan PKB. Serikat Buruh tersebut harus
berupaya untuk mencari dukungan untuk memperbanyak jumlah anggota, supaya dapat
mecapai angka 50 %. Kesulitan lain akan timbul apabila ternyata di suatu
perusahaan terdapat lebih dari satu serikat buruh sementara dari serikat
buruh yang telah ada itu belum mencapai dukungan oleh 50 % jumlah buruh yang
ada.
Penafsiran
hukum itu diantaranya adalah meniadakan ketentuan banyaknya presentasi dukungan
terhadap serikat buruh itu dari jumlah buruh yang ada. Semua serikat pekerja/
buruh yang telah ada di perusahaan itu mempunyai kedudukan yang sama dan berhak
sebagi pihak dalam pembuatan PKB tanpa memperhatikan presentasi dukungan dari
jumlah buruh yang ada. Adapun jumlah anggota dari satu serikat buruh yang akan
ikut berunding dalam pembentukan PKB ditentukan berdasarkan presentasi. Misalnya di suatu perusahaan
terdapat lima serikat buruh yaitu :
- Serikat Buruh A didukung oleh 30 % dari jumlah buruh yang ada,
- Serikat Buruh B didukung oleh 20 % dari jumlah buruh yang ada,
- Serikat Buruh C didukung oleh 10 % dari jumlah buruh yang ada,
- Serikat Buruh D didukung oleh 30 % dari jumlah buruh yang ada,
- Serikat Buruh E didukung oleh 10 % dari jumlah buruh yang ada
Semua serikat
buruh yang yaitu ABCD dan E mempunyai kedudukan yang sama dalam hal sebagai
pihak dalam pembuatan PKB. Hanya saja wakil serikat buruh yang telah ada itu
untuk dapat sebagai pihak yang akan melakukan perundingan ditentukan
berdasarkan presentasi perolehan dukungan. Hal ini disebut dalam pasal 130 ayat
(2) UU No. 13 Tahun 2003 dengan menugaskan seluruh serikat pekerja / buruh yang
ada di perusahaan itu untuk membentuk tim perunding secara proporsional.
Misalnya untuk
5 % dukungan dari buruh yang ada maka dapat diwakili oleh satu orang. Maka
serikat Buruh A berhak menempatkan 4 orang wakilnya, Serikat Buruh B berhak
menempatkan 4 orang wakilnya, Serikat Buruh C berhak menempatkan 2 orang
wakilnya, Serikat buruh D berhak menempatkan 6 orang wakilnya dan Serikat Buruh
E berhak menempatkan 2 orang wakilnya. Dengan demikian maka serikat Buruh yang
mayoritas maupun yang minoritas sama-sama dapat menyalurkan aspirasinya dan
dapat turut berperan aktif dalam pembuatan PKB.
Selanjutnya
fungsi serikat pekerja yang lainnya adalah sebagai pihak dalam penyelesaian perselisihan
industrial. Perselisihan hubungan industrial berdasarkan ketentuan pasal
1 angka 22 UU No. 13 Tahun 2003 yaitu : perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja / buruh
atau serikat pekerja/ serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak,
perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta
perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Dari ketentuan
itu dapat diketahui bahwa perselisihan industrial dapat terjadi antara subyek
hukum yaitu :
1.Pengusaha dan pekerja
2.Pengusaha atau gabungan
pengusaha dan serikat pekerja atau gabungan serikat pekerja
Selain itu perselisihan
perburuhan itu obyeknya dapat meliputi :
- Pelaksanaan syarat-syarat kerja di perusahaan,
- Pelaksanaan norma kerja di perusahaan,
- Hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja, dan
- Kondisi kerja di perusahaan
PUK SPSI Sebagai wakil dalam lembaga kerja sama
Fungsi serikat
pekerja yang kedua adalah sebagai wakil dalam lembaga kerja sama. yang dimaksud
dengan lembaga kerja sama di bidang ketenagakerjaan, misalnya lembaga kerja
sama bipartid, lembaga kerjasama tripartid dan lembaga-lembaga lain yang
bersifat tripartid seperti Dewan Pelatihan Kerja Nasional, Dewan Keselamatan
Kerja, atau Dewan Penelitian pengupahan.
PUK SPSI Sebagai sarana menciptakan
hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan
Berdasarkan
ketentuan UU 21/2000 pasal 4 ayat (2) huruf c bahwa serikat pekerja/ serikat
buruh merupakan sarana dalam menciptakan hubungan industrial yang harmonis,
dinamis dan berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pada fungsi
yangkedua ini serikat pekerja / buruh diharapkan dapt menempatkan diri sebagai
mitra usaha yang baik yang memperhatikan dua kepentingan yang berbeda untuk
disatukan. Tetap memperjuangkan aspirasi pekerja dengan tanpa mengabaikan
kepentingan pengusaha. Serikat pekerja harus bijaksana dan adil dalam melakukan
pilihan kepentingan pekerja yang akan diperjuangkan dengan memperhatikan
kondisi pengusaha.
PUK SPSI Sebagai sarana
penyalur aspirasi
Fungsi keempat
adalah sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan
kepentingan anggotanya. Fungsi ini di dalam penjelasan pasal demi pasalnya
dikatakan cukup jelas. Padahal ketentuan ini masih membutuhkan
penafsiran. Perlu adanya batasan mengenai hak dan kepentingan, yang
bagaimana yang perlu diperjuangkan, jangan sampai hak pekerja yang yan kurang
penting sangat diperjuangkan dengan mengabaikan kepentingan bersama yang jauh
lebih besar. Kenyataan yang ada banyaknya serikat pekerja / buruh yang ada di
perusahaan memicu terjadinya pertentangan antar serikat pekerja dengan dalih
memperjuangkan hak anggota yang kurang prinsip.
PUK SPSI Sebagai perencana, pelaksana dan penanggung
jawab pemogokan buruh.
Fungsi kelima
yaitu sebagai perencana, pelaksana dan penanggung jawab pemogokan pekerja/buruh
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Fungsi ini saling
berkaitan satu sama lain. Pemogokan sangat merugikan pihak-pihak dalam hubungan
industrial. Pemogokan total atau sebagian berakibat penurunan atau bahkan
penghentian produktivitas. Serikat pekerja / buruh yang bijaksana akan berpikir
jauh tentang rencana dilaksakannya pemogokan. Hasil dari pemogokan selalu dapat
dihitung dengan mudah oleh pengusaha. Misalnya dalam satu hari kerja yang
terdapat 8 jam kerja akan mengalami kerugian sebesar x rupiah. Kerugian
itu dihitung dari perkiraan rata-rata hasil produksi apabila dilakukan oleh
sekian jumlah pekerja dalam waktu sekian jam. Ada baiknya pengurus serikat
pekerja juga dibekali pengetahuan tentang managemen produksi, supaya tidak
dengan mudah memutuskan ayo kita mogok kerja...
PUK SPSI Sebagai wakil
dalam memperjuangkan kepemilikan saham
Fungsi
terakhir dari serikat pekerja / buruh adalah sebagai wakil pekerja / buruh
dalam memperjuangkan kepemilikan saham di perusahaan. Fungsi ini merupakan
upaya serikat pekerja dalam menyatukan dua kutup kepentingan
pengusaha – pekerja yang berbeda. Kepentingan utama pengusaha adalah
meningkatkan produktivitas dengan menghasilkan keuntungan yang besar. Di lain
pihak kepentingan utama pekerja adalah mendapatkan penghasilan yang meningkat
dalam bentuk terwujudnya peningkatan kesejahteraan.
Pekerja adalah
mitra usaha pengusaha. Keduanya saling membutuhkan tanpa salah satu pihak tidak
tercipta hubungan industrial. Tidak dapat dipungkiri hasil keringat pekerja
banyak pengusaha mencapai sukses bahkan tidak jarang yang berhasil memperluas
usahanya. Alangkah baiknya apabila hasil keringat pekerja mendapat perhatian
yang besar dari pengusaha dengan diikutkannya pekerja dalam pengelolaan
perusahaan.
Peran serta
pekerja dalam pengelolaan perusahaan (co-determination) adalah cara mewujudkan
demokrasi di perusahaan melalui struktur perusahaan yang bersifat monistis
yaitu di mana perencanaan dan pelaksanaan dilakukan dalam satu organisasi atau
melalui perencanaan dan pelaksanaan yang terpisah organisasinya . Upaya ikut
memiliki saham dapat dilakukan dengan co-determination ini. Sebagai ilustrasi
pekerja yang berprestasi akan memperoleh imbalan penghargaan yang berupa bonus,
insentif. Bonus atau insentif itu dapat dikumpulkan dengan tidak diambil oleh
pekerja yang selanjutnya digunakan untuk pembelian saham perusahaan yang dijual
terbuka. Dengan ikut memiliki sahammaka pekerja akan lebih merasa menjadi
bagian dari usaha itu. Tentunya akan berdampak positif bagi peningkatan
kinerjanya.
Selain itu
untuk upaya meningkatkan kesejahteraan dapat pula dilakukan sistem
kotak saran seperti yang dilakukan di Jepang. Setiap pekerja diberi
kesempatan untuk mengajukan usul perbaikan system kerja yang bertujuan pada
efisiensi dan peningkatan produktivitas kepada tim khusus yang dibentuk
pengusaha. Apabila usul itu setelah diteliti, diuji coba ternyata
terbukti menghasilkan efisiensi atau peningkatan produktifitas maka pekerja
pengusul akan memperoleh imbalan yang relatif besar.
Kedua system
ini hanya dapat dilakukan pada perusahaan yang menerapkan asas keterbukaan.
Rasanya untuk kondisi Indonesia masih jauh dari harapan, meskipun Indonesia
adalah negara yang berke Tuhanan. Tidak ada salahnya apabila kita
memandang ajaran Islam tentang hak pekerja atas sebagian keuntungan
pengusaha.Islam memandang bekerja adalah ibadah. Bekerja adalah hak
setiap manusia dewasa sebagai upaya menjaga derajat kemanusiaan dan memenuhi
kebutuhan hidup.Negara dan masyarakat harus menjamin hak setiap manusia untuk
bekerja dan tidak membedakan hak tersebut antara satu dengan yang lain.
Penerapan codetermination atau kotak saran adalah sangat
sejalan dengan Firman Allah SWT dalam QS An Nahl ayat 71 yaitu : Dan Allah
melebihkan sebagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal rezki, tetapi
orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka
kepada budak-budak yang mereka miliki agar mereka sama merasakan rezki itu.
Maka mengapa mereka mengingkari rahmat Allah. Akhirnya perlu kita renungkan
kembali akan hadist Rasullallah SAW yaitu berikanlah upah seorang buruh sebelum
kering keringatnya dan beritahukanlah upahnya sewaktu dia bekerja.
VI
KESIMPULAN
Serikat pekerja / buruh mempunyai
kedudukan yang sangat penting dalam usaha meningkatkan hubungan industrial di
tingkat perusahaan. Kedudukan itu berkaitan dengan pelaksanaan fungsinya yaitu
sebagai pihak dalam pembuatan PKB dan penyelesaian perselisihan industrial,
sebagai sarana pencipta hubungan industrial yang harmonis, sebagai sarana
penyalur aspirasi pekerja, penanggung jawap mogok dan wakil pekerja dan
memperjuangkan kepemilikan sahamVIII DAFTAR RUJUKAN
Asikin,
Zaenal, 2002, Dasar-dasar Hukum Perburuhan, Raja Grafindo Perkasa,
Jakarta
JJ. H
Bruggink alih bahasa Arif Sidarta,Refleksi tentang hukum,1996, Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Departemen
P & K, Kamus besar bahasa Indonesia,1989, Balai Pustaka, Jakarta.
Frans
Magins Suseno, Etika, Politik, prinsip-prinsip moral dasar modern, 1999,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
ILO,
1998, Kebebasan Berserikat dan Perlindungan terhadap Hak Berorganisasi dan
Hak untuk Berunding Bersama, Jakarta
International Union of Food and allied worker’s
associations, Buku pegangan untuk serikat buruh.
Mansur
Effendi, 1994 Hak asasi manusia, dimensi, dinamika dalam hokum nasional dan
internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Philipus
M Hadjon, 1994, Perlindungan hukum dalam negara hukumPancasila , makalah
disampaikan pada symposium tentang politik, hak asasi dan pembangunan hokum
dalam rangka Dies Natalis XL/ Lungsrum VIII, Universitas Airlangga 3 November
1994.
-------,
1987, Perlindungan hokum bagi rakyat di Indonesia, Bina Ilmu,
Surabaya.
Rajagukguk,
HP, 2000, Peran serta pekerja dalam pengelolaan perusahaan
(co-determination),makalah.
Sentanoe
Kertonegoro, 1999, Gerakan Serikat Pekerja, (Trade Unionism), studi kasus
Indonesia dan negara-negara industri, Yayasan tenaga kerjaIndonesia,
Jakarta.
-------,
Hubungan industrial, hubungan antara pengusaha danpekerja (bipartid) dan
pemerintah (tripartid), 1999, Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, Jakarta.
-------.
Kebebasan berserikat ( freedom od association), 1999, YTKI, Jakarta.
Iman
Soepomo,1992, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta
Undang-Undang, No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (LN. Tahun 2003, No. 39, TLN, No. 4279).
Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
hubungan Industrial. (LN Tahun 2004 No. 6, TLN No. 4356).
FUNGSI SERIKAT PEKERJA DALAM
PENINGKATAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Oleh :
SANTOSA
PUK SP KEP SPSI PT.ILD
Email : pukspsiild@gmail.com
Website : pukspsiild.blogspot.com
ABSTRAK
Serikat
Pekerja atau Serikat Buruh merupakan bentuk pelaksanaan dari hak seseorang
untuk berserikat dan berkumpul. Adanya serikat Pekerja / Buruh sangat penting
bagi kelangsungan hubungan industrial. Serikat Pekerja diharapkan dapat
melaksanakan fungsinya secara maksimal dalam rangka meningkatkan hubungan
industrial di tingkat perusahaan.
Kata Kunci : serikat pekerja, fungsi, hubungan industrial.
I PENDAHULUAN
Setiap manusia
selalu membutuhkan biaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk mendapatkan
biaya hidup seseorang perlu bekerja, secara mandiri atau bekerja kepada orang
lain.
Pekerja atau
buruh adalah seseorang yang bekerja kepada orang lain dengan mendapatkan upah.
Sedangkan tenaga kerja berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 2 UU no. 13 tahun
2003 adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilan barang
dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Jumlah
tenaga kerja yang tersedia di Indonesia tidak seimbang dengan jumlah lapangan
kerja yang tersedia. Terlebih lagi dari sebagian besar tenaga kerja yang
tersedia adalah yang berpendidikan rendah atau tidak berpendidikan sama sekali.
Mereka kebanyakan adalah unskillabour, sehingga posisi tawar mereka
adalah rendah.
Keadaan ini
menimbulkan adanya kecenderungan majikan untuk berbuat sewenang- wenang kepada
pekerja / buruhnya. Buruh dipandang sebagai obyek. Buruh dianggap sebagai
faktor ektern yang berkedudukan sama dengan pelanggan pemasok atau pelanggan
pembeli yang berfungsi menunjang kelangsungan perusahaan dan bukan faktor
intern sebagai bagian yang tidak terpisahkan atau sebagai unsur konstitutip
yang menjadikan perusahaan.
Majikan dapat
dengan leluasa untuk menekan pekerja / buruhnya untuk bekerja secara maksimal,
terkadang melebihi kemampuan kerjanya. Misalnya majikan dapat menetapkan upah
hanya maksimal sebanyak upah minimum propinsi yang ada, tanpa melihat masa
kerja dari pekerja itu. Seringkali pekerja dengan masa kerja yang lama upahnya
hanya selisih sedikit lebih besar dari upah pekerja yang masa kerjanya kurang
dari satu tahun. Majikan enggan untuk meningkatkan atau menaikkan upah pekerja
meskipun terjadi peningkatan hasil produksi dengan dalih bahwa takut diprotes
oleh perusahaan – perusahaan lain yang sejenis.
Posisi pekerja
yang lemah dapat diantisipasi dengan dibentuknya serikat pekerja / serikat
buruh yang ada di perusahaan . Diharapkan dengan adanya serikat pekerja di
perusahaan dapat mewakili dan menyalurkan aspirasi pekerja, sehingga dapat
dilakukan upaya peningkatan kesejahteraan pekerja. Dengan kata lain serikat
pekerja / buruh diharapkan dapat sebagai wadah pekerja dalam memperjuangkan
haknya.
Secara
sosiologis kedudukan buruh adalah tidak bebas. Sebagai orang yang tidak
mempunyai bekal hidup lain daripada itu, ia terpaksa bekerja pada orang lain.
Dan majikan inilah yang pada dasarnya menentukan syarat-syarat kerja .
Mengingat kedudukan pekerja yang lebih rendah daripada majikan maka perlu
adanya campur tangan pemerintah untuk memberikan perlindungan hukumnya.
Perlindungan hukum menurut Philipus
Selalu berkaitan dengan
kekuasaan. Ada dua kekuasaan yang selalu menjadi perhatian yakni kekuasaan
pemerintah dan kekuasaan ekonomi. Dalam hubungan dengan kekuasaan pemerintah,
permasalahan perlindungan hukum bagi rakyat (yang diperintah), terhadap
pemerintah (yang memerintah). Dalam hubungan dengan kekuasaan ekonomi,
permasalahan perlindungan hukum adalah perlindungan bagi silemah (ekonomi)
terhadap si kuat (ekonomi), misalnya perlindungan bagi pekerja terhadap
pengusaha.
Perlindungan
hukum bagi buruh sangat diperlukan mengingat kedudukannya yang lemah.
Disebutkan oleh Zainal Asikin, yaitu : Perlindungan hukum dari kekuasaan
majikan terlaksana apabila peraturan perundang-undangan dalam bidang perburuhan
yang mengharuskan atau memaksa majikan bertindak seperti dalam
perundang-undangan tersebut benar-benar dilaksanakan semua pihak karena
keberlakuan hukum tidak dapat diukur secara yuridis saja, tetapi diukur secara
sosiologis dan filosofis .
Bruggink membagi keberlakuan hukum menjadi tiga, yaitu keberlakuan faktual,
keberlakuan normatif dan keberlakuan evaluatif / material.
Keberlakuan faktual
yaitu kaidah dipatuhi oleh para warga masyarakat/ efektif kaidah diterapkan dan
ditegakkan oleh pejabat hukum; keberlakuan normative yaitu kaidah cocok dalam
system hukum herarkis,; keberlakuan evaluatif yaitu secara empiris kaidah
tampak diterima, secara filosofis kaidah memenuhi sifat mewajibkan karena
isinya.
Kedudukan
buruh yang lemah ini membutuhkan suatu wadah supaya menjadi kuat. Wadah itu
adalah adanya pelaksanaan hak berserikat di dalam suatu serikat pekerja
atau serikat buruh. Tujuan dibentuknya serikat pekerja/ buruh adalah
menyeimbangkan posisi buruh dengan majikan. Melalui keterwakilan buruh di dalam
serikat buruh maka diharapkan aspirasi buruh dapat sampai kepada majikan.
Selain itu melalui wadah serikat pekerja / buruh ini diharapkan akan terwujud
peran serta buruh dalam proses produksi. Hal ini merupakan salah satu upaya
yang dapat dilakukan untuk meningkatkan hubungan industrial di tingkat
perusahaan.
Keberadaan
serikat pekerja saat ini lebih terjamin dengan diundangkannya Undang-Undang No.
21 Tahun 2000 tentang serikat pekerja / serikat buruh (Lembaran Negara Tahun
2000 No. 131, Tambahan Lembaran Negara No. 3898). Sebelum adanya UU No. 21
Tahun 2000, kedudukan serikat pekerja secara umum dianggap hanyalah sebagai
kepanjangan tangan atau boneka dari majikan, yang kurang menereskan aspirasi
anggotanya. Hal ini karena pada masa Orde Baru serikat pekerja atau serikat
buruh hanya diperbolehkan satu yaitu serikat pekerja seluruh Indonesia (SPSI).
Pada masa Orde Baru itu pulalah muncul suatu serikat buruh tandingan SPSI yaitu
serikat buruh seluruh Indonesia (SBSI) di bawah Mochtar Pakpahan. Karena tidak
dikehendaki oleh pemerintah Soeharto, akhirnya ia ditahan dan bebas setelah era
reformasi.
Pada masa
reformasi setelah adanya UU NO. 21 Thaun 2000 dimungkinkan dibentuk serikat
buruh/ pekerja lebih dari satu. Hal ini menyebabkan keberadaan serikat
pekerja/serikat buruh banyak didirikan di satu perusahaan. Sayangnya karena
ketidak siapan buruh melaksanakan hak berserikat dimanfaatkan oleh oknum
tertentu untuk mengeruk keuntungan bagi kepentingannya sendiri dengan menjual
bangsa. Dikatakan demikian karena berdasarkan UU No. 21 Tahun 2000
diperbolehkan serikat pekerja / buruh itu menerima sumbangan dana dari negara
lain. Sering pula keberadaan serikat pekerja/ buruh yang lebih dari satu
jumlahnya di satu perusahaan justru memicu terjadinya perselisihan perburuhan
yang dapat berakibat mogok kerja yang seharusnya justru bertentangan dengan
tujuan disahkannya UU No. 21 tahun 2000 tersebut.
Dari uraian di
atas maka muncul permasalahan bagaimana fungsi serikat pekerja atau buruh dalam
rangka meningkatkan hubungan industrial di tingkat perusahaan. Hal ini
memerlukan suatu kebijaksanaan pemerintah, untukl menjabarkan ketentuan yang
ada di dalam UU no. 21 Tahun 2000 dalam peraturan pelaksanaannya. Sampai saat
ini belum ada peraturan pelaksana dari UU No. 21 Tahun 2000 sehingga untuk mengatasi
kekosongan hukum diperlukan banyak penafsiran hukum diantaranya penafsiran
mengenai fungsi serikat pekerja.
II
KEBEBASAN BERSERIKAT DAN BERKUMPUL BAGI BURUH
Alinea ketiga
dari Pembukaan UUD 1945 yaitu negara melindungi segenap bangsa dan negara
Indonesia. Ketentuan ini dijabarkan lebih lanjut dalam pasal 27 UUD 1945 yaitu
setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan. Setiap
warga negara berhak atas penghasilan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. Buruh adalah bagian dari bangsa Indonesia, sehingga berhak pula
untuk dilindungi dan mendapatkan penghidupan yang layak.
Salah satu
bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah bagi buruh adalah
adanya jaminan atas kebebasan berserikat dan berkumpul dalam suatu wadah
serikat buruh / pekerja. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta
menyampaikan pendapat merupakan hak dasar yang dimiliki oleh warga negara dari
suatu negara hukum demokratis yang berkedaulatan rakyat. Hak-hak yang dimiliki
manusia berdasrkan martabatnya sebagai manusia dan bukan karena
pemberianmasyarakat atau negara disebut hak asasi manusia. Hak asasi manusia
dalam negara hukum tidak dapat dipisahkan dari ketertiban dan keadilan.
Pengakuan atas negara hukum salah satu tujuannya melindungi hak asasi manusia,
berarti hak dan sekaligus kemerdekaan atau kebebasan perorangan diakui,
dihormati dan dijunjung tinggi. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi
manusia mendapat tempat utama dan dapat dikatakan sebagai tujuan dari negara hukum.
Kebebasan
berserikat dan berkumpul termuat dalam konvensi ILO tentang kebebasan
berserikat dan perlindungan hak berorganisasi ,1948 (No. 87) telah diratifikasi
dan dituangkan dalam Keputusan Presiden RI No. 83 Tahun 1998, dan Konvensi ILO
tentang hak berorganisasi dan berunding bersama, 1949 (No. 98) telah
diratifikasi dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 1956. Konvensi No. 87 dimaksudkan
secara keseluruhan untuk melindungi kebebasan berserikat terhadap kemungkinan
campur tangan pemerintah. Konvensi No. 98 ditujukan untuk mendorong
pengembangan penuh mekanisme perundingan kolektif sukarela.
Perjuangan
untuk mendirikan serikat buruh / pekerja yang mandiri untuk memperjuangkan hak
buruh sebenarnya telah ada sejak pemerintahan Hindia Belanda yaitu sejak abad
19 dan berlansung hingga sekarang. Pada tahun 1979 lahir Nederland Indische
Onderwys Genootschap (NIOG) atau serikat pekerja guru Hindia Belanda.
Selanjutnya disusul lahirnya beberapa serikat pekerja seperti Pos bond,
Cultuur Bond, Zuiker Bond, Spoor Bond.
Keberadaan
serikat buruh atau pekerja pada masa Orde Baru belum memenuhi prinsip dasar
serikat buruh. Prinsip dasar serikat buruh ada tiga yaitu kesatuan, mandiri dan
demokratis.
Prinsip kesatuan yaitu
adanya solidaritas dikalangan buruh bahwa mereka merupakan satu bagian tak
terpisahkan dalam organisasi Prinsip kemandirian maksudnya organisasi
buruh harus bebas dari dominasi kekuatan dari luar buruh, baik itu pemerintah,
majikan, partai politik, organisasi agama atau tokoh-tokoh individual. Prinsip
demokratis artinya mendapat dukungan dan partisipasi penuh para
anggotanya.
Tiga prinsip
dasar serikat buruh itu belum dapat dilaksanakan dengan penuh pada masa Orde
Baru karena serikat buruh yang diakui saat itu hanya ada satu yaitu serikat
buruh seluruh Indonesia (SPSI).
Upaya
pemerintah selanjutnya untuk memberikan jaminan kebebasan berserikat dan
berkumpul bagi buruh dituangkan dalam Undang- Undang No. 21 tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja / Buruh (Lembaran Negara tahun 2000 No.131.
Tambahan Lembaran Negara No. 3989).
III FUNGSI
SERIKAT PEKERJA DALAM PENINGKATAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Hubungan
industrial antara majikan dn buruh atau dengan pemerintah terjadi di tingkat
perusahaan atau di tingkat industri. Di negara demokratis, kebebasan berserikat
dijamin, kepentingan buruh diwakili oleh serikat buruh. Hubungan industrial ini
bersifat universal artinya di semua negara, meskipun dengan derajat kemajuan
yang berbeda.
Hubungan
industrial yang aman, harmonis dan dinamis diperlukan untuk menjamin ketenangan
kerja dan kelangsungan usaha yang produktif. Inti hubungan industrial itu
adalah perundingan bersama antara majikan dan serikat buruh untuk mencapai
kesepakatan kerja bersama yang kemudian harus dilkasanakan dan dipatuhi oleh
semua pihak. Hubungan industrial demikian ini memerlukan persyaratan yang harus
dipenuhi oleh unsur-unsur atau sarana- sarananya, termasuk persyaratan akan
kerjasama bipartid, tripartid, perlindungan dan kesejahteraan buruh serta
penyelesaian perselisihan industrial.
Hubungan
industrial diartikan sebagai suatu system hubungan yang terbentuk antara para
pelaku dalam proses produksi barang atau jasa yang meliputi pengusaha, pekerja
dan pemerintah. Pengertian itu memuat semua aspek hubungan kerja yang
terdiri dari :
- para pelaku : pekerja, pengusaha, pemerintah;
- kerjasama : manajemen-karyawan;
- perundingan bersama : perjanjiankerja, kesepakatan kerja bersama. Peraturan perusahaan;
- kesejahteraan: upah, jaminan sosial, pensiun, keselamatan dan kesehatan kerja, koperasi, pelatihan kerja;
- perselisihan industrial : arbitrase, mediasi, mogok kerja, penutupan perusahaan, pemutusan hubungan kerja
Hubungan industrial di Indonesia
dikenal dengan nama hubungan industrial Pancasila yaitu suatu hubungan industrial
yang mendasarkan pada nilai-nilai kelima sila dari Pancasila. Sejak masa
reformasi istilah itu tampaknya kurang dipakai di masyarakat, mengingat Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang menjadi salah satu pilar dari
HIP telah dicabut. Dengan dicabutnya salah satu pilar HIP, maka HIP kemudian
disebut sebagai hubungan industrial saja tanpa disertai Pancasila.
Fungsi serikat
buruh dituangkan dalam UU No. 21 Tahun 2000. Fungsi berasal dari kata function, artinya
something that performs a function : or operation.. Fungsi dapat pula
diartikan sebagai jabatan (pekerjaan) yang dilakukan : jika ketua tidak ada
maka wakil ketua melakukan fungsi ketua ; fungsi adalah kegunaan suatu hal;
berfungsi artinya berkedudukan, bertugas sebagai ; menjalankan tugasnya.
Fungsi serikat buruh / pekerja dengan demikian dapat diartikan sebagai
jabatan, kegunaan, kedudukan dari serikat buruh/ pekerja.
Berdasarkan ketentuan pasal 4
Undang-Undang No. 21 Tahun 2000, yaitu :
- Serikat pekerja/ serikat buruh, federasi and konfederasi serikat pekerja/ serikat buruh bertujuan memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/ buruh dan keluarganya.
- Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) serikat pekerja/ serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/ serikat buruh mempunyai fungsi :
- sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaian perselisihan industrial;
- sebagai wakil pekerja/buruh dalam lembaga kerja sama di bidang ketenagakerjaan seseuai dengan tingkatannya;
- sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan sesuai dengabn peraturan perundang-undangan;
- sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya;
- sebagai perencana, pelaksana dan penanggung jawab pemogokan pekerja/ buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- sebagai wakil pekerja/ buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham di perusahaan.
Subyek hukum dalam hubungan industrial pada dasarnya yang terpenting adalah
buruh dan majikan. Disamping itu mengingat hubungan industrial itu terjadi di
dalam masyarakat maka subyek hukum hubungan industrial mendapat perluasan
meliputi juga masyarakat dan pemerintah. Serikat pekerja/ buruh adalah wakil
buruh dalam perusahaan. Sebagai wakil buruh yang sah maka ia mempunyai
kedudukan sebagi subyek hukum dalam hubungan industrial yang mandiri.
Pemerintah mempunyai andil pula sebagai subyek hukum dalam hubungan industrial dalam
arti perwujudannya dalam tiga fungsi pokok pemerintah yaitu mengatur, membina
dan mengawasi. Masyarakat menjadi subyek hukum hubungan industrial sebagai
akibat perluasan karena bagaimanapun juga hubungan industrial itu akan
berdampak bagi masyarakat sekitar lokasi hubungan industrial itu berlangsung
atau masyarakat dalam arti skala nasional. Dampak itu dapat positif atau
negatif. Mempunyai dampak positif apabila hubungan industrial itu berjalan
dengan baik dan tercapai tujuannya. Sebaliknya akan berdampak negatih apabila
hubungan industrial itu gagal mencapai tujuannya.
Tujuan dari
hubungan industrial pada dasarnya terkait dengan subyek hukum dalam hubungan
industrial yaitu meningkatkan produktifitas, meningkatkan kesejahteraan,
meningkatkan stabilitas nasional yang mantap. Meningkatkan produktifitas adalah
tujuan utama dari majikan dalam hal ia mendirikan suatu usaha. Produktifitas
yang meningkatkan akan menghasilkan keuntungan. Adanya keuntungan dari hasil
proses produksi diharapkan dapat dikembalikan kepada buruh guna meningkatkan
kesejahteraannya. Peningkatan kesejahtaraan merupakan tujuan utama semua buruh.
Buruh bekerja tujuannya mendapatkan penghasilan guina pemenuhan kebutuhan
hidupnya. Apabila terjadi peningkatan kesejahteraan maka secara otomatis
pengsilan buruhpun mengalami peningkatan, sehingga akan tercipta ketenangan
bekerja. Suasana yang tenang dalam proses produksi karena telah terjadi
peningkatan produktifitas dan peningkatan kesejahteraan maka akan mengakibatkan
dampak yang positif bagi masyarakat sekitarnya dan masyarakat Indonesia pada
umumnya. Adanya ketenangan usaha memperkecil terjadinya perselisihan
perburuhan. Sisi lainnya akan menimbulkan stabilitas nasional yang baik, yang
selalu diharapkan oleh pemerintah bagi suksesnya pembangunan ekonomi.
IV
KEBEBASAN BERSERIKAT DAN BERKUMPUL DALAM PRAKTIK HUBUNGAN INDUSTRIAL
Kenyataan yang ada dalam
proses berlangsungnya suatu hubungan industrial tidak seperti yang diharapkan.
Majikan sering menempatkan buruh pada posisi yang rendah, sebagai faktor
ekstern yang kurang diperhatikan. Untuk itulah diperlukan adanya suatu
wadah bagi buruh sebagi upaya mensejajarkan posisi buruh majikan dalam proses
hubungan industrial dalam suatu serikat buruh / serikat pekerja.
Dalam praktik, masih
adanya keengganan menerima keberadaan serikat pekerja di lingkungan perusahaan
sebagai mitra sejajar dan masih banyaknya pengusaha yang berpendirian
“Saya yang berkuasa di rumah saya” (Herr im Haus) seperti sikap
raja-raja perusahaan baja pada awal lahirnya perjanjian perburuhan (KKB) di
Jerman walaupun didesak dengan ketentuan-ketentuan yang disertai sanksi pidana.
Keberadaan serikat buruh /
pekerja dengan adanya Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 ternyata masih banyak
menimbulkan masalah. Pada masa Orde Baru masalah yang timbul pada serikat buruh
atau serikat pekerja pada umumnya pada ketidak mandirian serikat buruh/
pekerja. Serikat buruh pada masa itu hanya ada satu yaitu SPSI dianggap oleh
banyak kalangan sebagai corong atau boneka majikan. Seringkali SPSI tidak
menyuarakan aspirasi atau kehendak buruh dan ironisnya hanya menyuarakan
aspirasi majikan. Pengurus SPSI kebanyakan telah ditentukan oleh majikan yang
merupakan orang-orang yang lebih mendekatkan dirinya pada majikan (mereka yang
pro-majikan). Pemilihan pengurus SPSI seringkali direkayasa untuk menempatkan
orang-orang yang lebih berpihak kepada majikan.
Keberadaan serikat buruh/
pekerja setelah masa reformasi dengan telah disahkannnya Undang-Undang No. 21
Tahun 2000 ternyata juga masih menimbulkan banyak permasalahan. Permasalahan
bukan terletak pada wadah tunggal serikat buruh / pekerja dalam SPSI tetapi
pada kemajemukan serikat buruh/ serikat pekerja yang telah ada. Undang-Undang
No. 21 Tahun 2000 membuka peluang untuk didirikannya serikat buruh/ pekerja
lebih dari satu dalam satu perusahaan. Adanya serikat buruh / pekerja yang
lebih dari satu dalam satu perusahaan dikatakan merupakan perwujudan dari sikap
demokratis buruh. Sayangnya pada umumnya buruh masih belum mempunyai kematangan
demokrasi. Demokrasi sering disalah-artikan dengan pemogokan , penganiayaan dan
pengrusakan. Adanya ketentuan bahwa serikat buruh / pekerja dapat menerima dana
dari luar negeri ternyata disalah gunakan oleh orang-orang tertentu untuk
mengambil keuntungan sepihak. Dengan dalih upaya memperjuangkan kesejahteraan
buruh, buruh dihasut untuk melakukan pemogokan. Selama berjalannya masa
pemogokan ternyata situasi itu diabadikan oleh orang tertentu yang menjadi
pengurus serikat buruh atau serikat pekerja untuk mencari dana dari luar
negeri. Hal ini sangat disayangkan karena tindakan itu dapat dikatakan telah
menjual negara untuk kepentingan pribadi.
Banyaknya serikat buruh /
pekerja dalam satu perusahaan juga menimbulkan masalah dalam rangka pembuatan
perjanjian kerja bersama karena belum ada peraturan pelaksanaannya. Hal ini
memicu serikat buruh yang mempunyai anggota minoritas untuk menghasut atau
bahkan mengancam buruh yang bukan anggotanya untuk melakukan
tindakan-tindakan yang dapat mengarah pada perselisihan perburuhan. Hal ini
memerlukan suatu interpretasi bagi upaya kekosongan hukum sebelum adanya
peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 21 Tahun 2000.
V SOLUSI PEMECAHAN
Belum adanya
ketentuan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang fungsi
serikat buruh / serikat pekerja mengakibatkan diperlukan adanya interpretasi
dari ketentuan pasal 4 Undang-Undang No. 21 Tahun 2000.
PUK SPSI Sebagai pihak dalam pembuatan
PKB dan penyelesaian perselisihan perburuhan
Fungsi pertama
dari serikat pekerja adalah sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja
bersama atau PKB. Istilah perjanjian kerja bersama (PKB) ada setelah
diundangkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2000, dimaksudkan untuk menggantikan
kedudukan kesepakatan kerja bersama (KKB). Pembuat undang-undang menganggap
penertian dari PKB sama dengan KKB. PKB merupakan terjemahan dari Collective
Labour Agreement (CLA). Sentanoe Kertonegoro, menganggap KKB tidak sama
dengan PKB, yaitu :
Perjanjian Kerja Bersama adalah :
- Dasar dari individualisme dan liberalisme ( free fight liberalisme ) berpandangan bahwa antara pekerja dan pengusaha adalah dua pihak yang mempunyai kepentingan yang berbeda dalam perusahaan
- Mereka bebas melakukan perundingan dan membuat perjanjian tanpa campur tangan pihak lain;
- Dibuat melalui perundingan yang bersifat tawar-menawar (bargaining) masing-masing pihak akan berusaha memperkuat kekuatan tawar-menawar, bahkan dengan menggunakan senjata mogok dan penutupan perusahaan;
- Hasilnya adalah perjanjian yang merupakan keseimbangan dari kekuatan tawar menawar
Kesepakatan Kerja Bersama
- Dasar adalah hubungan industrial Pancasila berpandangan bahwa antara pekerja dan pengusaha terdapat hubungan yang bersifat kekeluargaan dan gotong royong;
- Mereka bebas melakukan perundingan dan memeuat perjanjian asal saja, tetapi memeperhatikan kepentingan yang lebih luas yaitu masyarakat, bangsa dan negara;
- Dibuat melalui musyawarah untuk mufakat, tidak melalui kekuatan tawar menawar tetapi yang diperlukan sifat yang keterbukaan, kejujuran dan pemahaman terhadap kepentingan semua pihak. Kehadiran serikat pekerja dalam rangka meningkatkan kerjasama dan tanggung jawab bersama;
- Hasilnya adalah suatu kesepakatan yang merupakan titik optimal yang bisa dicapai menurut kondisi yang ada, dengan memperhatikan kepentingan semua pihak.
Apabila dicermati pendapat
Sentanoe mengenai perbedaan antara PKB dengan KKB, tampak ada peluang yang
dapat dipergunakan oleh majikan dalam hal memanfaatkan suatu keadaan dari
pengertian KKB untuk menekan buruh dalam hal memperjuangkan haknya. Pada
pengertian KKB, lebih ditekankan semua pihak tidak hanya mementingkan
kepentingannya tetapi harus memperhatikan juga kepentingan bangsa dan negara.
Sebagai contoh pemerintah telah menetapkan upah minimum propinsi/ kota .
Ketentuan UMP itu seolah-olah dijadikan dasar bagi majikan sebagai untuk
memberikan upah kepada buruhnya selama-lamanya tanpa melihat lama kerja buruh,
prestasi atau keuntungan yang diperoleh perusahaan. Memang ada peningkatan upah
berdasarkan lamanya masa kerja atau prestasi tetapi apabila dibandingkan dengan
perolehan keuntungan majikan sangat jauh. Ada dalih dari majikan untuk tidak
memberikan kenaikan upah bagi buruhnya diatas ketentuan UMP, yaitu perusahaan
bisa saja memberikan kenaikan upah berdasarkan presentasi keuntungan yang
diperoleh perusahaan, tetapi hal ini tidak dilakukan karemna nati akan diprotes
oleh perusahaan yang sejenis yang dapat mengakibatkan mogok kerja pada
perusahaan lainnya sehingga mengganggu stabilitas nasional. Ironis memang
antara besarnya upah buruh pabrik rokok dengan kekayaan yang dimiliki oleh
majikan pemilik pabrik rokok itu. Sementara pemilik dapat keliling dunia,
memiliki koleksi mobil mewah sementara buruh pabrik rokok hanya dapat bersyukur
apabila dapat mengangsur rumah sangat sederhana melalui KPR-BTN.
Dari uraian
itu maka sepatutnyalah kita beralih paradigma dari KKB ke PKB yang lebih
memberikan posisi madiri bagi serikat buruh untuk berperan aktif dalam
pembuatan PKB.
Sebagi pihak
dalam pembuatan PKB saat ini ternyata menimbulkan problema. Setelah
adanya Undang-Undang No. 21 Tahun 2000, dimungkinkan terbentuk lebih dari satu
serikat pekerja/ buruh di satu perusahaan. Hal ini belum pernah terjadi
sebelumnya. Pada masa itu karena serikat pekerja / buruh hanya diakui satu di
seluruh Indonesia yaitu serikat pekerja seluruh Indonesia (SPSI) maka hanya
SPSI unit kerja PT X saja yang berhak sebagai pihak dalam pembuatan KKB apabila
memenuhi ketentuan jumlah anggotanya adalah minimal 50 % dari jumlah pekerja yang
ada di perusahaan itu. Hal ini diatur dalam pasal 130 ayat (2) UU No. 13
Tahun 2003.
Berdasarkan
ketentuan pasal 2 Konvensi ILO No. 87 tentang kebebasan berserikat dan
perlindungan hak berorganisasi yaitu pengusaha dan pekerja mempunyai hak untuk
membentuk,dan tunduk hanya pada peraturan organisasi yang bersangkutan,
bergabung dengan organisasi pilihannya sendiri. Adanya monopoli serikat pekerja
pada saat itu dalam wadah SPSI menurut Sentanoe
Hanya dapat dibuat dalam
hubungannya dengan perwakilan (representative) untuk maksud perundingan
kolektif, konsultasi oleh pemerintar, atau penunjukan wakil-wakil pada
organisasi internasional. Tetapi tidak boleh digunakan untuk mencegah
berfungsinya organisasi minoritas. Organisasi-organisasi minoritas setidak-tidaknya
harus memiliki hak untuk melakukan perwakilan atas nama para anggotanya dan
mewakili anggota dalam hal keluhan-keluhan individual.18
Setelah
diundangkannya UU No. 21 Tahun 2000 maka ketentuan yang menyatakan bahwa hanya
serikat pekerja yang didukung oleh 50 % dari jumlah pekerja yang ada memerlukan
penafsiran hukum karena apabila ketentuan itu dipaksakan maka serikat
pekerja yang tidak didukung oleh 50 % jumlah buruh yang ada tidak akan dapat
berkedudukan sebagai pihak dalam pembuatan PKB. Serikat Buruh tersebut harus
berupaya untuk mencari dukungan untuk memperbanyak jumlah anggota, supaya dapat
mecapai angka 50 %. Kesulitan lain akan timbul apabila ternyata di suatu
perusahaan terdapat lebih dari satu serikat buruh sementara dari serikat
buruh yang telah ada itu belum mencapai dukungan oleh 50 % jumlah buruh yang
ada.
Penafsiran
hukum itu diantaranya adalah meniadakan ketentuan banyaknya presentasi dukungan
terhadap serikat buruh itu dari jumlah buruh yang ada. Semua serikat pekerja/
buruh yang telah ada di perusahaan itu mempunyai kedudukan yang sama dan berhak
sebagi pihak dalam pembuatan PKB tanpa memperhatikan presentasi dukungan dari
jumlah buruh yang ada. Adapun jumlah anggota dari satu serikat buruh yang akan
ikut berunding dalam pembentukan PKB ditentukan berdasarkan presentasi. Misalnya di suatu perusahaan
terdapat lima serikat buruh yaitu :
- Serikat Buruh A didukung oleh 30 % dari jumlah buruh yang ada,
- Serikat Buruh B didukung oleh 20 % dari jumlah buruh yang ada,
- Serikat Buruh C didukung oleh 10 % dari jumlah buruh yang ada,
- Serikat Buruh D didukung oleh 30 % dari jumlah buruh yang ada,
- Serikat Buruh E didukung oleh 10 % dari jumlah buruh yang ada
Semua serikat
buruh yang yaitu ABCD dan E mempunyai kedudukan yang sama dalam hal sebagai
pihak dalam pembuatan PKB. Hanya saja wakil serikat buruh yang telah ada itu
untuk dapat sebagai pihak yang akan melakukan perundingan ditentukan
berdasarkan presentasi perolehan dukungan. Hal ini disebut dalam pasal 130 ayat
(2) UU No. 13 Tahun 2003 dengan menugaskan seluruh serikat pekerja / buruh yang
ada di perusahaan itu untuk membentuk tim perunding secara proporsional.
Misalnya untuk
5 % dukungan dari buruh yang ada maka dapat diwakili oleh satu orang. Maka
serikat Buruh A berhak menempatkan 4 orang wakilnya, Serikat Buruh B berhak
menempatkan 4 orang wakilnya, Serikat Buruh C berhak menempatkan 2 orang
wakilnya, Serikat buruh D berhak menempatkan 6 orang wakilnya dan Serikat Buruh
E berhak menempatkan 2 orang wakilnya. Dengan demikian maka serikat Buruh yang
mayoritas maupun yang minoritas sama-sama dapat menyalurkan aspirasinya dan
dapat turut berperan aktif dalam pembuatan PKB.
Selanjutnya
fungsi serikat pekerja yang lainnya adalah sebagai pihak dalam penyelesaian perselisihan
industrial. Perselisihan hubungan industrial berdasarkan ketentuan pasal
1 angka 22 UU No. 13 Tahun 2003 yaitu : perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja / buruh
atau serikat pekerja/ serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak,
perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta
perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Dari ketentuan
itu dapat diketahui bahwa perselisihan industrial dapat terjadi antara subyek
hukum yaitu :
1.Pengusaha dan pekerja
2.Pengusaha atau gabungan
pengusaha dan serikat pekerja atau gabungan serikat pekerja
Selain itu perselisihan
perburuhan itu obyeknya dapat meliputi :
- Pelaksanaan syarat-syarat kerja di perusahaan,
- Pelaksanaan norma kerja di perusahaan,
- Hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja, dan
- Kondisi kerja di perusahaan
PUK SPSI Sebagai wakil dalam lembaga kerja sama
Fungsi serikat
pekerja yang kedua adalah sebagai wakil dalam lembaga kerja sama. yang dimaksud
dengan lembaga kerja sama di bidang ketenagakerjaan, misalnya lembaga kerja
sama bipartid, lembaga kerjasama tripartid dan lembaga-lembaga lain yang
bersifat tripartid seperti Dewan Pelatihan Kerja Nasional, Dewan Keselamatan
Kerja, atau Dewan Penelitian pengupahan.
PUK SPSI Sebagai sarana menciptakan
hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan
Berdasarkan
ketentuan UU 21/2000 pasal 4 ayat (2) huruf c bahwa serikat pekerja/ serikat
buruh merupakan sarana dalam menciptakan hubungan industrial yang harmonis,
dinamis dan berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pada fungsi
yangkedua ini serikat pekerja / buruh diharapkan dapt menempatkan diri sebagai
mitra usaha yang baik yang memperhatikan dua kepentingan yang berbeda untuk
disatukan. Tetap memperjuangkan aspirasi pekerja dengan tanpa mengabaikan
kepentingan pengusaha. Serikat pekerja harus bijaksana dan adil dalam melakukan
pilihan kepentingan pekerja yang akan diperjuangkan dengan memperhatikan
kondisi pengusaha.
PUK SPSI Sebagai sarana
penyalur aspirasi
Fungsi keempat
adalah sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan
kepentingan anggotanya. Fungsi ini di dalam penjelasan pasal demi pasalnya
dikatakan cukup jelas. Padahal ketentuan ini masih membutuhkan
penafsiran. Perlu adanya batasan mengenai hak dan kepentingan, yang
bagaimana yang perlu diperjuangkan, jangan sampai hak pekerja yang yan kurang
penting sangat diperjuangkan dengan mengabaikan kepentingan bersama yang jauh
lebih besar. Kenyataan yang ada banyaknya serikat pekerja / buruh yang ada di
perusahaan memicu terjadinya pertentangan antar serikat pekerja dengan dalih
memperjuangkan hak anggota yang kurang prinsip.
PUK SPSI Sebagai perencana, pelaksana dan penanggung
jawab pemogokan buruh.
Fungsi kelima
yaitu sebagai perencana, pelaksana dan penanggung jawab pemogokan pekerja/buruh
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Fungsi ini saling
berkaitan satu sama lain. Pemogokan sangat merugikan pihak-pihak dalam hubungan
industrial. Pemogokan total atau sebagian berakibat penurunan atau bahkan
penghentian produktivitas. Serikat pekerja / buruh yang bijaksana akan berpikir
jauh tentang rencana dilaksakannya pemogokan. Hasil dari pemogokan selalu dapat
dihitung dengan mudah oleh pengusaha. Misalnya dalam satu hari kerja yang
terdapat 8 jam kerja akan mengalami kerugian sebesar x rupiah. Kerugian
itu dihitung dari perkiraan rata-rata hasil produksi apabila dilakukan oleh
sekian jumlah pekerja dalam waktu sekian jam. Ada baiknya pengurus serikat
pekerja juga dibekali pengetahuan tentang managemen produksi, supaya tidak
dengan mudah memutuskan ayo kita mogok kerja...
PUK SPSI Sebagai wakil
dalam memperjuangkan kepemilikan saham
Fungsi
terakhir dari serikat pekerja / buruh adalah sebagai wakil pekerja / buruh
dalam memperjuangkan kepemilikan saham di perusahaan. Fungsi ini merupakan
upaya serikat pekerja dalam menyatukan dua kutup kepentingan
pengusaha – pekerja yang berbeda. Kepentingan utama pengusaha adalah
meningkatkan produktivitas dengan menghasilkan keuntungan yang besar. Di lain
pihak kepentingan utama pekerja adalah mendapatkan penghasilan yang meningkat
dalam bentuk terwujudnya peningkatan kesejahteraan.
Pekerja adalah
mitra usaha pengusaha. Keduanya saling membutuhkan tanpa salah satu pihak tidak
tercipta hubungan industrial. Tidak dapat dipungkiri hasil keringat pekerja
banyak pengusaha mencapai sukses bahkan tidak jarang yang berhasil memperluas
usahanya. Alangkah baiknya apabila hasil keringat pekerja mendapat perhatian
yang besar dari pengusaha dengan diikutkannya pekerja dalam pengelolaan
perusahaan.
Peran serta
pekerja dalam pengelolaan perusahaan (co-determination) adalah cara mewujudkan
demokrasi di perusahaan melalui struktur perusahaan yang bersifat monistis
yaitu di mana perencanaan dan pelaksanaan dilakukan dalam satu organisasi atau
melalui perencanaan dan pelaksanaan yang terpisah organisasinya . Upaya ikut
memiliki saham dapat dilakukan dengan co-determination ini. Sebagai ilustrasi
pekerja yang berprestasi akan memperoleh imbalan penghargaan yang berupa bonus,
insentif. Bonus atau insentif itu dapat dikumpulkan dengan tidak diambil oleh
pekerja yang selanjutnya digunakan untuk pembelian saham perusahaan yang dijual
terbuka. Dengan ikut memiliki sahammaka pekerja akan lebih merasa menjadi
bagian dari usaha itu. Tentunya akan berdampak positif bagi peningkatan
kinerjanya.
Selain itu
untuk upaya meningkatkan kesejahteraan dapat pula dilakukan sistem
kotak saran seperti yang dilakukan di Jepang. Setiap pekerja diberi
kesempatan untuk mengajukan usul perbaikan system kerja yang bertujuan pada
efisiensi dan peningkatan produktivitas kepada tim khusus yang dibentuk
pengusaha. Apabila usul itu setelah diteliti, diuji coba ternyata
terbukti menghasilkan efisiensi atau peningkatan produktifitas maka pekerja
pengusul akan memperoleh imbalan yang relatif besar.
Kedua system
ini hanya dapat dilakukan pada perusahaan yang menerapkan asas keterbukaan.
Rasanya untuk kondisi Indonesia masih jauh dari harapan, meskipun Indonesia
adalah negara yang berke Tuhanan. Tidak ada salahnya apabila kita
memandang ajaran Islam tentang hak pekerja atas sebagian keuntungan
pengusaha.Islam memandang bekerja adalah ibadah. Bekerja adalah hak
setiap manusia dewasa sebagai upaya menjaga derajat kemanusiaan dan memenuhi
kebutuhan hidup.Negara dan masyarakat harus menjamin hak setiap manusia untuk
bekerja dan tidak membedakan hak tersebut antara satu dengan yang lain.
Penerapan codetermination atau kotak saran adalah sangat
sejalan dengan Firman Allah SWT dalam QS An Nahl ayat 71 yaitu : Dan Allah
melebihkan sebagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal rezki, tetapi
orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka
kepada budak-budak yang mereka miliki agar mereka sama merasakan rezki itu.
Maka mengapa mereka mengingkari rahmat Allah. Akhirnya perlu kita renungkan
kembali akan hadist Rasullallah SAW yaitu berikanlah upah seorang buruh sebelum
kering keringatnya dan beritahukanlah upahnya sewaktu dia bekerja.
VI
KESIMPULAN
Serikat pekerja / buruh mempunyai
kedudukan yang sangat penting dalam usaha meningkatkan hubungan industrial di
tingkat perusahaan. Kedudukan itu berkaitan dengan pelaksanaan fungsinya yaitu
sebagai pihak dalam pembuatan PKB dan penyelesaian perselisihan industrial,
sebagai sarana pencipta hubungan industrial yang harmonis, sebagai sarana
penyalur aspirasi pekerja, penanggung jawap mogok dan wakil pekerja dan
memperjuangkan kepemilikan sahamVIII DAFTAR RUJUKAN
Asikin,
Zaenal, 2002, Dasar-dasar Hukum Perburuhan, Raja Grafindo Perkasa,
Jakarta
JJ. H
Bruggink alih bahasa Arif Sidarta,Refleksi tentang hukum,1996, Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Departemen
P & K, Kamus besar bahasa Indonesia,1989, Balai Pustaka, Jakarta.
Frans
Magins Suseno, Etika, Politik, prinsip-prinsip moral dasar modern, 1999,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
ILO,
1998, Kebebasan Berserikat dan Perlindungan terhadap Hak Berorganisasi dan
Hak untuk Berunding Bersama, Jakarta
International Union of Food and allied worker’s
associations, Buku pegangan untuk serikat buruh.
Mansur
Effendi, 1994 Hak asasi manusia, dimensi, dinamika dalam hokum nasional dan
internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Philipus
M Hadjon, 1994, Perlindungan hukum dalam negara hukumPancasila , makalah
disampaikan pada symposium tentang politik, hak asasi dan pembangunan hokum
dalam rangka Dies Natalis XL/ Lungsrum VIII, Universitas Airlangga 3 November
1994.
-------,
1987, Perlindungan hokum bagi rakyat di Indonesia, Bina Ilmu,
Surabaya.
Rajagukguk,
HP, 2000, Peran serta pekerja dalam pengelolaan perusahaan
(co-determination),makalah.
Sentanoe
Kertonegoro, 1999, Gerakan Serikat Pekerja, (Trade Unionism), studi kasus
Indonesia dan negara-negara industri, Yayasan tenaga kerjaIndonesia,
Jakarta.
-------,
Hubungan industrial, hubungan antara pengusaha danpekerja (bipartid) dan
pemerintah (tripartid), 1999, Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, Jakarta.
-------.
Kebebasan berserikat ( freedom od association), 1999, YTKI, Jakarta.
Iman
Soepomo,1992, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta
Undang-Undang, No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (LN. Tahun 2003, No. 39, TLN, No. 4279).
Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
hubungan Industrial. (LN Tahun 2004 No. 6, TLN No. 4356).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar