Sabtu, 21 November 2015
KALANGAN BURUH TOLAK PP 78/2015 TENTANG PENGUPAHAN
KALANGAN BURUH TOLAK PP 78/2015 TENTANG PENGUPAHAN
Kalangan buruh/pekerja menolak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan yang ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 23 Oktober 2015. Jika terus diberlakukan, mereka akan melakukan judicial review terhadap PP ini ke Mahkamah Agung.
"Saya mengusulkan agar pemerintah menunda pelaksanaan PP ini dalam penentuan UM tahun depan. Seharusnya dilakukan kajian lebih mendalam lg dgn melibatkam SP SB. PP ini sebaiknya di-review lagi dan hasil review tersebut disosialisasikan kepada seluruh pekerja dan SP SB serta pengusaha," kata Sekjen Organisasi Pekerja Indonesia (OPSI)
Penolakan terhadap PP Pengupahan itu juga disampaikan SP/SB lainnya seperti Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP).
PP Pengupahan ini wajib ada karena PP tersebut merupakan amanat Pasal 97 UU 13/2003. Namun demikian proses pembuatan PP tersebut tidak sesuai Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 144 yang mengamanatkan pelibatan serikat pekerja dan pengusaha dalam pembuatan regulasi ketenagakerjaan.
Selain itu, proses pembuatan PP tersebut jg tidak sesuai UU No. 12 tahun 2011 tentang tata cara pembuatan peraturan perundangan yang mengamanatkan keterlibatan stakeholder yang dalam hal ini serikat pekerja. Jadi dari sisi formalitas pembuatan PP tersebut sudah cacat.
Dari sisi materialnya, setelah membaca pasal per pasal, Timboel mengatakan, PP Pengupahan ini akhirnya mengakomodir kebutuhan pekerja terkait struktur dan skala upah. Dalam pasal 14 ayat 2 pengusaha diwajibkan menyusun struktur dan skala upah. Di pasal 14 ayat 3 nya pengusaha wajib memberitahu struktur dan skala upah ke seluruh pekerja/buruh.
Dengan kewajiban menyusun dan memberitahu struktur dan skala upah ini maka pekerja akan mendapat kepastian upah sehingga pekerja yg sdh berkeluarga dan bekerja lebih dari setahun akan mendapatkan upah lebih tinggi dari upah minimum yang ada. Pelanggaran Pasal 14 ayat 2 dan 3 ini dikenakan sanksi administratif sesuai pasal 59 yaitu sanksi teguran tertulis sampai pembekuan kegiatan usaha.
Dikatakan, PP ini juga mewajibkan pengusaha memberikan bukti pembayaran upah kepada pekerja, seperti yg diamanatkan pasal 17 ayat 2 PP Pengupahan ini. Kewajiban ini sudah baik untuk membantu pekerja guna membuktikan jumlah upahnya di pengadilan maupun untuk dinas tenaga kerja dan BPJS.
Terkait Formula Kenaikan Upah Minimum (UM) yangg diamanatkan pasal 44 ayat 2, maka menurut Timboel, kenaikan UM hanya ditentukan 3 variabel yaitu UM tahun berjalan, Inflasi Nasional dan PDB Nasional. Sementara variabel KHL tidak digunakan.
Adapun variabel KHL hanya digunakan setiap 5 tahun sekali seperti yang diamanatkan pasal 45 ayat 3. Dari isi Pasal 45 ayat 3 dinyatakan gubernur menetapkan UM setelah adanya peninjauan KHL setiap 5 tahun sekali. Berarti di tahun pertama hingga ke lima kenaikan UM ditentukan rumus formula sedangkan tahun keenam (yaitu setelah komponen KHL ditinjau ulang 5 tahun sekali) maka UM ditentukan gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dewan pengupahan provinsi.
Ketika UM ditentukan oleh 3 variabel dengan menggunakan formula maka yang menentukan kenaikan UM adalah BPS, bukan Gubernur. Gubernur hanya mementukan UM setiap 5 tahun sekali. "Ini sesat pikir, yang tentunya bertentangan dgn amanat pasal 89 ayat 3 UU 13/2003 yang memberikan kewenangan menentukan UM kepada gubernur
Dalam penjelasan Pasal 44 ayat 3 dinyatakan perhitungan UM pada dasarnya sama dengan nilai KHL. "Menurut saya penjelasan ini tidak benar karena KHL hanya ada 60 komponen saat ini sehingga hanya 60 komponen itu yang dihitung perubahan harganya, sementara inflasi yang ditentukan BPS didasari pada perhitungan seluruh barang dan jasa yang ada. Ini tidak obyektif bila KHL disamakan dengan inflasi," katanya.
Penggunaan variabel Inflasi nasional dan pertumbuhan ekonomi (PDB) nasional dalam formula, menurut dia tidak obyektif juga. Harusnya digunakan inflasi wilayah dan PDRB Wilayah sehingga kenaikan UM bisa obyektif. Inflasi per wilayah akan berbeda, demikian juga PDRB masing-masing wilayah. (Sant puk spsi ild)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar